KEHADIRAN ANAK AUTIS DALAM KELUARGA

Kehadiran anak autistik di tengah-tengah keluarga akan mempengaruhi pada kehidupan keluarga, khususnya pada aspek psikologis orang tua yang selanjutnya mempengaruhi hubungan suami istri dan anggota keluarga lainnya, termasuk di dalamnya adalah saudara kandung. Berdasarkan pengalaman penulis selama 12 tahun sebagai praktisi dalam memberikan layanan konseling (konsultasi) dan bimbingan bagi orang tua serta intervensi dini anak autistik, kehadiran anak autistik menunjukkan dampak yang bervariasi bagi keluarga. Dampak yang ditimbulkan seperti adanya sikap yang saling menyalahkan atas kondisi anaknya yang autistik, menyalahkan masa lalu, suami menyalahkan istri atas ketidakmampuan dalam mengasuh anaknya dan sebagainya.
Masa-masa sulit yang dihadapi oleh orang tua adalah menanti diagnosis dan setelah hasil diagnosis yang menyatakan anaknya berlabel autistik. Orang tua bingung dan cemas atas situasi dan kondisi perkembangan anaknya yang autistik pada saat ini dan di masa datang. Hardman, Drew, Egan dan Wolf (1993) yang dikutip oleh Handerson (2004) dan Puspita (2009) menyatakan bahwa dengan mengetahui anaknya didiagnosis sebagai autistik, orang tua mengalami shock (tidak percaya). Sikap ini biasanya diikuti dengan berbagai sikap seperti cemas, merasa bersalah, menjadi persoalan, bingung, tidak punya harapan, marah, tidak berdaya, atau menolak, limbung, tidak tahu harus berbuat apa, merasa tak berdaya, menyalahkan diri sendiri, marah kepada diri sendiri, pasangan bahkan kepada anaknya yang autistik tersebut dan bertanya-tanya kepada Tuhan kenapa terjadi seperti ini. Mereka sedih sekali dan muncul sikap putus asa yang dapat berkembang menjadi depresi dan stres berkepanjangan, merasa tidak diperlakukan dengan adil, tidak percaya pada fakta dan berpindah dari satu dokter ke dokter lain untuk menegaskan bahwa dokter tersebut salah; tawar menawar diagnosa dan menolak kenyataan/fakta lalu bersikukuh bahwa anak tidak bermasalah.
Hal senada juga ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2008), bahwa ibu yang memiliki sikap/penyesuaian diri negatif terhadap kehadiran anak autistik memiliki ciri-ciri seperti tidak dapat menerima kenyataan memiliki anak autistik, tidak dapat menerima keberadaan anak autistik secara apa adanya, tidak melakukan penanganan terhadap anak autistik dan merasa rendah diri serta bersikap tertutup terhadap orang lain dengan keberadaan anaknya.
Fakta-fakta tersebut di atas pada umumnya dialami oleh semua orang tua yang anaknya didiagnosis sebagai anak autistik. Tidak ditemukan orang tua yang menunjukkan sikap ”biasa-biasa” saja ketika anaknya didiagnosis sebagai anak autistik. Yang membedakan sikap orang tua terhadap kehadiran anak autistik adalah berapa lama orang tua ”bangkit” dari keadaan yang dirasa kurang ”srek” (baca : jawa)/kurang nyaman menjadi sikap yang optimis, peduli dan menerima anak sebagai mana adanya hingga pada level sikap tertinggi yang ditunjukkan orang tua dengan tetap mengatasi masalah selayaknya keluarga yang memiliki anak-anak pada umumnya. Meraka adalah yang sudah berprinsip bahwa masalah selalu hadir dan harus diatasi. Pada level ini, orang tua dan keluarga memandang bahwa kehidupan harus tetap berjalan, tanpa mengeluh dan tetap menatap masa depan keluarga dan anaknya yang selalu menunggu dan membutuhkan pertolongan orang tua dan keluarga.

Dr. J