Foto: Lombok, NTB
Pendahuluan
Setiap orang tua selalu mendambakan anak lahir dengan keadaan tak sekurang apapun dan berkembang selayaknya anak-anak pada umumnya. Namun demikian, sebagian di antara kita terkadang mendapati keadaan yang berbeda dari buah hati kita. Ada sebagian orang tua diberikan rahmat anak yang lahir dan berkembang dengan keadaan yang tidak sama dengan anak-anak pada umumnya seperti anak dengan gangguan penglihatan, pendengaran, gangguan mental, keadaan fisik yang berbeda, hiperaktif, sulit berbicara, gangguan konsentrasi maupun anak autistik. Keadaan anak ini disebut dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Terminologi ABK ini sebenarnya tidak sebatas anak-anak di atas. Anak jalanan, korban bencana alam, anak korban perang, HIV, korban penyalahgunaan narkoba, kesulitan membaca, menulis dan berhitung (learning diabilitas/kesulitan belajar) juga di kategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus.
Setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak terkecuali ABK. Sebagai bagian dari warga negara, ABK harus tetap mendapatkan akses pendidikan dari sejak lahir hingga akhir hayat, baik di keluarga, sejak usia dini hingg perguruan tinggi. Mereka dapat menempuh pendidikan melalui jalur non formal atau formal pada Sekolah Luar Biasa (SLB) atau melalui Sekolah Inklusi.
Dalam satu dekade terakhir ini, isu pendidikan inklusif terus disosialisasikan dan terus dikembangkan. Bebagai model penyelengaraan pendidikan yang mereduksi filosofi inklusi terus diciptakan. Oleh karena itu sudah saatnya masyarakat dikenalkan apa itu pendidikan inklusif dan implementasinya. Tulisan ini mencoba memberikan pengantar tentang hakekat inklusi, pendidikan inklusif dan implementasinya.
Hakikat Inklusi
Secara harafiah inklusi (inclusion) berarti “ketercakupan/ketersertaan”. Heijmen (2005) mengemukakan bahwa inklusi pada hakikatnya adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial yang menghargai keberagaman, menghormati bahwa semua orang adalah bagian dari yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaannya. Falsafah inklusi memandang manusia sebagai makhluk yang sederajat walaupun berbeda-beda. Filosofi inklusi itu juga berkaitan dengan kepemilikan, keikutsertaan, partisipasi dalam komunitas dan keinginan untuk dihargai.
Manusia diyakini diciptakan untuk menjadi satu masyarakat, sehingga sebuah masyarakat yang normal selalu ditandai oleh adanya keragaman dan keanekaragaman, bukan keseragaman. Secara empiris tidak pernah kita dengar adanya pelabelan masyarakat (desa/kota) dengan label tertentu dimana anggota masyarakatnya seragam seperti desa khusus untuk orang tuli, kota khusus untuk orang buta, kota khusus untuk anak autistik, daerah untuk orang cacat mental, desa untuk orang yang tidak bisa membaca dan sebagainya. Keanekaragaman dan keragaman yang terjadi adalah normal adanya dan berbagai katagori individu dengan hambatan seperti hambatan fisik, mental, intelektual, sosial, emosi dan komuniaksi dan bahasa, ekonomi, agama, suku dan sebagainya selayaknya dilihat sebagai hal yang lumrah.
Falsafah inklusi mencoba menghargai perbedaan-perbedaan setiap individu. Inklusif memandang manusia dengan segala karakteristik uniknya, merangkul perbedaan yang ada dan saling berbagi sesama manuasi. Falsafah inklusif menekankan sikap menghargai atas perbedaan dan kebalikannya inklusi mencoba melawan diskriminasi, eksklusivitas, memberikan hak dan menciptakan keadilan yang seadil-adilnya.
Pendidikan Inklusif
Kita telah diciptakan sederajad walaupun berbeda-beda. Apapun jenis kelamin, penampilan, kesehatan atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam suatu masyarakat. Penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh keragaman dan keberagaman–bukan keseragaman. Namun pada kenyataannya anak-anak dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya dari kebutuhan kebanyakan orang telah dipisahkan dengan alasan yang beragam untuk waktu yang terlalu lama– semua alasan tersebut tidak adil. (Skjorten, 2003).
Mereduksi filosofi inklusif di atas, maka pendidikan inklusif dikembangkan berdasarkan keyakinan fundamental bahwa setiap individu dapat belajar, berkembang, tumbuh, dan bekerja dengan semua orang yang memiliki latar belakang yang berbeda di sekolah, lingkungan kerja dan masyarakat. Pendidikan inklusif adalah wujud nyata komitmen penyediaan kesempatan belajar bagi semua anak, remaja dan orang dewasa dengan fokus pada individu yang tergolong minoritas, terpinggirkan dan tidak terperhatikan.
Sebagian individu yang tergolong minoritas, terpinggirkan dan belum terperhatikan dalam pendidikan. Pendidikan inklusif merupakan pendekatan pendidikan yang berusaha mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak penyandang disabilitas, anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994 dalam Stubbs, 2003).
Dalam konteks pendidikan inklusif berarti semua anak, siapapun mereka, terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan intekektual mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, budaya atau bahasa, agama ataupun jender selayaknya menyatu dalam komunitas sekolah yang sama. Dengan berbagai perbedaan yang ada, setiap individu memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang sama.
Pendidikan inklusif harus menjangkau semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan inklusif selayaknya merangkul mereka yang termarjinalkan untuk dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas. Pendidikan inklusif membuat sesuatu yang tidak terlihat menjadi terlihat, yang tidak diperhatikan menjadi diperhatikan, yang tidak terlayani menjadi berharga dan yang tersisih menjadi dapat berpartisipasi. Pendidikan inklusif mencoba memastikan bahwa semua siswa mendapatkan hak dan memastikan semua siswa memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik. (Shaeffer, 2005).
Pendidikan inklusif merespon adanya perbedaan dalam pendidikan. Pendidikan inklusif berusaha menempatkan anak berkebutuhan khusus dengan kondisi ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Sapon-Shevin dalam Sunardi (2002) menyatakan bahwa pendidikan inklusif merupakan sistem pelayanan pendidikan kebutuhan khusus yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman sebayanya. Untuk itu ditekankan adanya rekunstruksi elemen-elemen di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan setiap anak, artinya sumber dan dukungan dari semua guru dan siswa harus diperkaya.
Tujuan dari pendidikan inklusif adalah untuk memastikan akses yang sama dan kesempatan yang sama dalam pendidikan bagi semua individu termasuk individu yang berkebutuhan khusus, terlepas dari bentuk kebutuhan khusus mereka. (Booth, Ainscow, 2007). Inklusi mengarah ke “merge ” dari minoritas (yaitu individu dengan disabilitas/kebutuhan pendidikan khusus) dan mayoritas (yaitu populasi utuh/rekan utuh). Kelas inklusif menciptakan lingkungan pendidikan yang sesuai dan juga untuk anak yang berbakat dan cerdas. Sekolah inklusi menawarkan anak dengan kebutuhan khusus berkesempatan untuk belajar bersama-sama dengan teman sebaya mereka, untuk belajar di kelompok yang heterogen. (Catatan: bagian dari pembelajaran sosial), untuk terlibat dalam pendidikan dengan cara yang sesuai dengan keterampilan dan kebutuhan mereka, dalam lingkungan yang aman yang meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri mereka.
Perspektif Pendidikan Anak dalam Pendidikan Inklusif
Yakinlah bahwa semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus itu bisa belajar dan “diajarin”. (All students can learn an All students can teach). Tentu hal ini harus dipahami bahwa setiap anak bisa belajar sesuai dengan kemampuan, minat dan bakat serta kesukaanya masing-masing. Orang tua atau guru masih seringkali menyalahkan pada anak; anak tidak mengerti-mengerti jika diberikan pelajaran, anak tidak bisa membaca, anak susah untuk mengeti soal cerita matematika sederhana dan sebagainya. Pada bagian ini mestinya logikanya dibalik, bukanya anak yang tidak bisa/tidak paham, tetapi orang tua atau gurulah yang belum tahu bagaimana cara mengajarkanya. Masih banyak orang tua dan guru yang belum sampai pada pemahaman ini. Anak tidak lagi manjadi obyek yang dipersalahkan dalam perspektif ini.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak adalah salah satu individu yang paling rentan terhadap kekrasan dan diskriminasi. Apalagi anak bekebutuhan khusus atau anak yang disertasi dengan disabilitas. Anak Penyandang Disabilitas adalah Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Anak disablitas berkencendurangan memiliki kebutuhan khusus.
Perspektif orang tua, guru dan masyarakat masih banyak yang memandang anak dengan disertai disabilitas secara negatif. Anak yang disertai disabilitas adalah anak yang tidak berguna, tidak ada untungnya, menyusahkan, merepotkan, bodoh, dan perspektif negative lainya. Sekolah adalah tidak banyak memiliki manfaat baginya, merpotkan guru dan menambah beban biaya Negara. Pendidikan inklusif mencoba memandang dengan cara yang berbeda. Anak-anak disabilitas selalu memiliki potensi yang bisa dikembangkan dan dengan hal ini mereka memiliku peluang untuk menjadi lebih baik. Anak-anak yang disertai dengan disabilitas memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berpartisipasi dalam hidupnya.
Menjamin perlindungan terhadap anak khususnya anak-anak disertai disabilitas adalah utama. Anak yang disertai dengan disabilitas harus diberikan perlindungan atas segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Peristiwa dan Publikasi tentang Hak Asasi – Pendidikan Inklusif
Peristiwa-peristiwa penting yang menandai pendidikan inklusif seperti :
a. Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 oleh PBB, termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang.
b. Konvensi Hak Anak tahun 1989.
c. Education For All tahun 1990 : Konvensi dunia tentang Pendidikan Untuk Semua di Jomtien, Tailand yang menghasilkan tujuan utama yakni membawa semua anak ke sekolah dan memberikan semua anak pendidikan yang sesuai.
d. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif (Unesco diumumnkan tahun 1994. Pernyataan Salamanca :
– Hak semua anak termasuk mereka yang berkebutuhan khusus temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah.
-Hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya dalam kelas-kelas inklusif.
-Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual.
-Pengayaan dan manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan memperoleh melalui pelaksanaan pendidikan inklusif.
-Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan berkualitas yang bermakna bagi setiap individu.
-Keyakinan bahwa pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya pada efektifitas biaya.
e. Komitmen Dakar (2000) mengenai Pendidikan untuk Semua,
f. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”.
g. Rekomendasi Bukittinggi (2005), tentang meningkatkan kualitas sistem pendidikan yang ramah bagi semua.
Beberapa landasan yuridis tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif seperti :
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Pasal 5 (1), (2), (3), (4) antara lain mengatur tentang hak pendidikan bagi warga negara yang mengalami kelainan, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, dan warga negara yang berada di daerah terpencil. Mereka berhak mendapatkan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Pasal 15 (Penjelasan Pasal 15)yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan khusus antara lain ditegaskan bahwa pendidikan khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 5, dapat dilakukan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus. Pasal ini secara tegas mengamanatkan bahwa pendidikan bagi anak dengan disabilitas tidak hanya diselenggarakan di sekolah-sekolah khusus (SLB) tetapi juga dapat diselenggarakan di sekolah pada umumnya dalam bentuk pendidikan inklusif.
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 10 ditegaskan bahwa hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi hak: (1) mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus; (2) mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; (3) mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; dan (4) mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik. Pada Pasal 18 mengatur tentang hak aksesibilitas meliputi (1) hak untuk mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik, dan (2) mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu.
Dalam konteks pendidikan inklusif ditegaskan pada Pasal 40 bahwa : (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan dan/atau menfasilitasi pendidikan untuk penyandang disabilitas di setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai kewenangannya. (2) Penyelenggaraan dan/atau fasilitasi pendidikan untuk Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan inklusif dan pendidikan khusus.
c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa. Dalam Permendiknas ini telah diatur bagaimana implementasi pendidikan inklusif oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan kewenangannya.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak (AYL) untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Salah satu hak Penyandang Disabilitas adalah hak untuk mendapatkan layanan Pendidikan yang bermutu pada satuan Pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan secara inklusif dan khusus.
Implementasi Pendidikan Inklusif
Penempatan ABK di dalam sekolah reguler menuntut adanya rekonstruksi mendasar di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya sumber daya dan dukungan dari semua peserta didik, pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, komite dan masyarakat serta pemerintah harus diperkaya.
Hal-hal yg. perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif sebagai berikut :
• Semua Anak Berada Dalam Kelas Reguler Sepanjang Hari Tak Terkecuali ABK.
Penting untuk dipahami bahwa pendidikan inklusif selayaknya menempatkan ABK sepanjang hari di sekolah reguler. Beberapa lembaga pendidikan yang mengaku sekolahnya adalah sekolah inklusi masih menempatkan ABK di ruang khusus yang berada di sekolah reguler (ruang terpisah) dan mengikutsertakan ABK dalam kegiatan belajar yang dianggap memungkinkan saja. Praktik persekolahan ini sebenarnya lebih dikenal dengan mainstreaming yang dipaparkan oleh Semuel A. Kirk (1986) dalam bukunya Educating Exceptional Children.
Pelaksanaan layanan pendidikan tersebut pada umumnya beralasan karena anak dianggap masih kesulitan (sebut saja: tidak bisa mengikuti pelajaran dan mengganggu) dalam mengikuti kegiatan kelas. Dengan demikian ABK perlu belajar tersendiri dan dalam ruangan tersendiri serta dengan guru tersendiri, meskipun masih dalam satu sekolahan. Bukankah ini masih berarti memisahkan mereka dengan teman sekelasnya meski di dalam sekolah yang sama ?
Beberapa kejadian menunjukkan bahwa layanan ini memberikan dampak sosial yang kurang menguntungkan bagi ABK maupun anak pada umumnya. ABK akan merasa kebingungan untuk beradaptasi sosial dengan lingkungan sosialnya. Mereka kesulitan untuk mengenal lebih jauh tentang temannya karena waktu untuk bersama dengan anak reguler terbatas (in-out….in-out). Bahkan kebalikannya, anak-anak reguler juga merasa kesulitan untuk membangun pertemanan dengan ABK dengan segala perbedaannya. Pada umumnya mereka canggung dan curiga karena asing dengan temanya yang berbeda. Bagaimana mereka bisa saling mengerti, mengenal, menghargai dan berbagi jika jarang bertemu dan bersama ?
• Kurikulum Dan Pembelajaran Yang Fleksibel.
Penempatan ABK di dalam sekolah reguler merupakan upaya untuk saling mengahargai perbedaan, berbagi satu sama lain dan dapat berpartisipasi sesuai level keberfungsian dari setiap anak. Penting sekali bagi sekolah atau guru untuk menciptakan kurikulum yang fleksibel, artinya bagaimana sekolah atau guru mengelola materi, penggunaan pendekatan dan metode, media dan melakukan evaluasi yang dimodifikasi dan disesuaikan (akomodasi) dengan kebutuhan, kemampuan dan kontekstual yang didasari pada keragaman siswa sehingga memberikan kemanfaatan bagi semua.
Beberapa sekolah yang mendeklarasikan sekolahnya adalah sekolah inklusi terkadang masih dijumpai menggunakan kurikulum yang tidak fleksibel. Semua anak belajar yang sama dan cara yang sama. Ketika ABK harus mempelajari sesuatu yang sama dan cara yang sama, maka sekolah telah menganggap setiap anak itu sama. Sebagian besar guru beralasan karena adanya tuntutan materi yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu dan tercapainya kompetensi yang diharapkan. Ketika ABK tidak dapat mencapai kompetensi yang diharapkan, maka penting sekali guru untuk mengakomodasi yakni memodifikasi dan mengadaptasi kurikulum (baca: Torey, 2004). Pada kondisi tertentu, bagi ABK sangat tidak memungkinkan untuk menguasai kompetensi atau materi yang dituntut.
Dalam penyelenggaraan sekolah inklusi, sistem kurikulum mengikuti kebutuhan anak, bukan anak mengikuti sistem. Ada sebuah cerita sederhana sebagai ilustrasi pelaksanaan kurikulum di sekolah inklusi yang fleksibel. Ketika seorang bapak membelikan ”peci” bagi anaknya ternyata peci tersebut tidak muat. Bagi sekolah yang menyelenggarakan kurikulum secara kaku, maka pada cerita itu bapak akan meminta istrinya untuk mengambil pisau dan lalu bapak membelah-mbelah kepala anak agar peci dapat muat dipakai anak. Tetapi bagi sekolah yang inklusif, maka dalam cerita itu bapak akan mencoba memodifikasi dan mengadaptasi supaya peci itu dapat dikenakan mislnya dengan cara menambah velcro, memotong bagian belakang dan memberi karet atau menggantikan peci tersebut.
Lalu apa bedanya sekolah biasa dengan sekolah inklusi jika anak harus mengikuti kurikulum bagi anak-anak pada umumnya? Bukankah menggunakan kurikulum yang kaku/seragam berarti tidak memahami bahwa setiap anak itu berbeda?
• Lingkungan Sekolah Yang Ramah Dan Mudah Diakses Oleh Semua Anak (Aksesibilitas).
Lingkungan sekolah yang ramah dan aksesibel merupakan lingkungan yang dirancang untuk semua anak. Lingkungan yang ramah dan aksesibel memberikan kenyamanan, kemudahan dan menunjang keefektifan aktifitas dan belajar selama di sekolah. Lingkungan yang ramah ditunjukkan dengan beberapa kondisi seperti kelas yang memiliki cahaya yang cukup, adanya ventilasi sehingga terjadi sirkulasi udara yang baik, kamar mandi yang bersih, ruang kelas yang bersih, gedung yang kokoh, dan sekolah yang memiliki halaman untuk bermain. Sedang lingkungan yang aksesibel seperti adanya tanda untuk memudahkan berjalan bagi anak tunanetra, jalan yang landai bagi anak dengan kursi roda, ruang kelas yang mudah diubah posisi meja dan kursi untuk belajar, dan sebagainya.
Aksesibilitas memiliki nilai mudah diakses dan independence. Lokasi/tempat, ruang yang dapat menjadikan aktifitas seseorang tidak terganggu. Asesibilitas juga harus membuat seseorang dapat melakukan secara mandiri. Karena seringkali fasilitas umum terlihat aksesibel, tetapi belum membuat seseorang mandiri dalam melakukanya.
Di sebuah sekolah yang mengaku telah mendeklarasikan sekolahnya sebagia sekolah ramah, penulis pernah bertanya kepada seorang siswa kelas 4 yang disertai hambatan gerak (Polio). Polio adalah kerusakan syaraf yang dapat menyebabkan kelumpuhan permanen. Lalu penulis bertanya, ”dik, apakah adik pernah merasa ingin pipis atau BAB (buang air besar)?. Apa yang adik lakukan?”. dia menjawab: ”saya berupaya/menahan diri agar tidak pipis atau Ee’! (BAB)”. Hal ini dilakukan karena toilet/kamar mandi tidak aksesibel bagi siswa dengan kondidi kaki lumpuh. Tempat BAB-nya tersedia untuk siswa yang bisa jongkok. Sedang siswa dengan hambatan kelayuan kedua kakinya tidak memungkinkan menggunakannya. Jadi selama 3-4 tahun, siswa ini menahan diri dan selalu gelisah selama di sekolah. Sunguh fantatstis !
• Adanya Guru Pembimbing Khusus (GPK) Bagi ABK.
Guru Pembimbing Khusus (GPK) ialah guru khusus di sekolah umum yang tugas utamanya adalah memberikan bimbingan dan pelayanan kepada anak kebutuhan khusus yang mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan di sekolah reguler. GPK juga memiliki tugas membantu menyusun kelengkapan instrumen identifikasi dan asesmen, membuat program pendidikan individual (PPI) bersama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran, membangun system koordinasi antara guru, pihak sekolah dengan orang tua siswa, memberikan bimbingan kepada anak berkebutuhan khusus dan memberikan bantuan (berbagi pengalaman) kepada guru kelas/guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus baik dalam setting kelas inklusif dan individu.
Pada kenyataannya GPK secara prakmatis bertugas membantu guru reguler dalam proses belajar di dalam kelas. GPK duduk mendampingi ABK di dalam kelas saat guru reguler mengajar. GPK membimbing ABK untuk mengikuti kegiatan belajar di kelas seperti mengingatkan agar anak memperhatikan guru saat mengajar, menjelaskan tugas di kelas bila tidak paham, membantu ABK agar tetap duduk dan sebagainya. Hal ini dilakukan dengan tujuan membantu ABK agar dapat mengikuti kegiatan belajar secara efektif, proses belajar yang lancar dan kelak ABK dapat mandiri belajar dalam kelas reguler.
GPK dalam kontek tugas di atas sebenarnya kurang tepat meskipun dengan tujuan yang baik. GPK sebenarnya bukanlah semata bertugas mendampingi anak berkebutuhan khusus di kelas. Namun demikian bila hal itu dilakukan maka guru seyogyanya mengenalkan GPK sebagai guru yang akan membantu guru kelas dalam proses belajar mengajar dan membantu semua anak yang memiliki kesulitan, meskipun kenyataannya GPK akan lebih dominan membantu ABK yang di tempatkan di kelas reguler. Posisi GPK yang demikian menghindarkan ABK dari pelabelan yang semakin merendahkan harga diri ABK. ”Itu lho anak autis, itu lho anak nakal, tidak bisa membaca…….Nanti akan didampingi oleh Pak Joko. Kalau anak-anak nakal, bodoh, tidak bisa membaca maka kalian akan belajar sama Pak Joko di ruang khusus”. Hemmmmm……
GPK tidak terbatas pada fungsi pembimbingan dalam pembelajaran saja yakni melakukan pembimbingan, konsultasi, dan kolaborasi bersama guru mapel, guru kelas, guru BK, guru TIK, dan/atau orang tua. Namun demikian, GPK juga berfungsi menjadi sumber informasi bagi semua pihak yang terlibat dalam layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus dan merencanakan dan melaksanakan jejaring kerjasama dengan berbagai pihak. Ini semua menunjukkan betapa kompetensi GPK sangat memberi arti bagi kemajuan dan perkembangan pendidikan inklusif saat ini. Lebih lanjut tentang GPK akan dibahas pada tulisan selanjutnya.
• Adanya guru yang ramah (welcoming teacher).
Tantangan yang besar dalam implementasi pendidikan inklusi adalah guru. Guru diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang ramah dan merespon berbagai situasi kelas serta adanya perbedaan setiap anak. Guru yang ramah memiliki karakteristik seperti kooperatif, bertanggungjawab, membuat persiapan pembelajaran, murah senyum, sabar, antusias untuk belajar, ingin maju, meghargai anak, memotivasi dan sebagainya. Sebaliknya sekolah inklusi sangat berlawanan dengan ciri guru yang tidak ramah misalnya galak, tidak peduli, egois, tidak punya perencanaan pembalajaran yang baik, suka menghukum, menunjukkan kejelekkan anak di depan kelas dan sebagainya.
Guru seyogyanya merespon anak dengan cara-cara yang ramah ketika anak-anak membutuhkan pertolongan. Di sebuah kelas II sedang belajar bahasa Indonesia yakni membaca cerita. Guru meminta salah satu anak untuk membaca nyaring dan sementara itu anak lainnya menyimak. Hingga pada baris tertentu guru menghentikan anak untuk membaca dan meminta anak lainnya untuk melanjutkan bacaan tersebut. Rasyad (bukan nama sebenarnya) memiliki kesulitan dalam membaca. Dalam proses kegiatan tersebut, Rasyad menunjukkan kecemasan dan berusaha untuk sembunyi di balik punggung temannya agar tidak ditunjuk oleh guru untuk membaca. Celakanya, guru tersebut malah menunjuk Rasyad untuk membaca padahal guru tersebut mengerti bahwa Rasyad tidak dapat membaca. Anak-anak serentak mentertawakan (meledek) kemampuan Rasyad. Mungkin maksud guru adalah memotivasi anak.
Paparan tentang Rasyad di atas menunjukkan bahwa secara tidak langsung guru tidak membuat anak berbagi, berpasrtisipasi sesuai level kemampuannya dan bahkan terkesan menunjukkan kelemahan Rasyad di depan anak-anak lain. Bagaimana harga diri Rasyad ? Mungkin Rasyad sangat membenci gurunya, pelajaran membaca dan mungkin persepsi tentang belajar atau sekolah adalah kegiatan yang menyebalkan, lalu enggan bersekolah dan akhirnya putus sekolah.
• Adanya pusat sumber (Resource Center).
Implementasi pendidikan inklusif membutuhkan support system agar proses pendidikan berjalan dengan baik. Salah satu poin penting adalah adanya Unit layanan Disabilitas. Unit Layanan Disabilitas (ULD) adalah lembaga yang berperan membantu sekolah-sekolah inklusi yang terdekat. Dalam lembaga ini terdapat para ahli yang berkompeten untuk membimbing, memberikan bantuan, pelatihan dan memecahkan masalah berkaitan dengan peneglolaan kelas, pembelajaran, identifikasi, asesmen, pembuatan program pendidikan individual, pendidikan ABK di sekolah regular dan seterusnya. ULD dapat berbentuk dan diperankan atau didukung oleh Sekolah Luar Biasa (SLB), Pusat Terapi maupun klinik-klinik anak berkebutuhan khusus yang sekarang sedang menjamur. Pembahasan Unit Layanan Disabilitas akan dibahas pada tulisan selanjutnya.
• Kemitraan sekolah, guru, pemerintah, instansi terkait, orang tua dan masyarakat.
Bagian terakhir ini merupakan bentuk kongkrit dari filosofi inklusi dimana berbagi dan kerjasama dari semua komponen pendidikan harus dilakukan. Bentuk kemitraan yang sederhana adalah kerjasama guru dan orang tua dalam memembuat perencaan, melaksanakan program dan mengevaluasi program. Tidak kalah pentingnya adalah sekolah bersama masyarakat terus mensosialisasikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghargai perbedaan, keragaman dan keanekaragaman. Tanpa kemitraan semua elemen pendidikan maka implementasi pendidikan inklusif kurang bisa berkembang secara optimal. Mari bekerja sama dan saling membantu.
Penutup
Sungguh indah pendidikan inlusif. Pendidikan yang mencoba mengahrgai perbedaan, keragaman dan keanekaragaman. Pendidikan yang menjadi tidak ada menjadi ada, tidak nampak menjadi nampak, terasing menjadi mengenal, terpingirkan menjadi bersama-sama. Pendidikan inklusif menekankan belajar belajar bersama dan berbagi (sharring), semua siswanya dapat berpartisipasi sesuai dengan level keberfungsiannya dan mencapai prestasi sesuai kemampuannya. Tapi memang implementasi pendidikan inklusif memiliki tantangan yang kompleks. Indonesia menuju pendidikan inklusif.
Salam Inklusi
Daftar Pustaka
Abdurahman,M. (2002). Landasan Pendidikan Inklusif dan Implikasinya Dalam Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan,Depdiknas
Booth, T., Ainscow, M. (2007) Inclusion Indicator. Development Of Learning And involvement in schools. Prague: Rytmus o.s.
Braillo Norway, (2000). Pernyataan Salamanca, tentang: Prinsip Kebijakan dan Praktek Dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus, alih bahasa: Tarsidi,D, Jakarta
Direktorat PLB. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusi (Buku I-VIII), Mengenal Pendidikan Terpadu; Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Depdiknas
Direktorat PLB (2004). Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah Terhadap Pembelajaran (LIRP), Jakarta: UNESCO
Johnsen, B & Skjorten, M.,D. (2003) Education-Special Needs Education An Introduction. alih Bahasa Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pembelajaran (LIRP), Jakarta: UNESCO
Sunardi. (2002). Kecenderungan Dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Dikti.