Level usia/kemampuan Intervensi:
Usia yang disarankan: anak usia dini-Dewasa
Kelopmpok Diagnostik yang Disarankan dan karakteristik terkait: Autistik yang berat-sedang
Level kemampuan yang disarankan: hambatan kognitif berat hingga di atas intelegensi rata-rata
Deskripsi Intervensi
Intervensi DTT didasarkan pada prinsip-prinsip teori pembelajaran perilaku dan analisis perilaku terapan. Metode DTT secara luas digunakan pada anak dengan hambatan perkembangan dan sangat dikenal bagi mereka yang menggunakan secara intensif bagi anak-anak autis.
Pendekatan DTT didefinisikan sebagai strategi untuk mengajar keterampilan baru pada anak-anak. Trail dipertimbangkan menjadi “single teaching unit” (Lovaas, 1981) yang ditunjukkan dengan beberapa komponen yang mengikuti: presentation dari stimulus diskriminatif (Sᴰ)/instruksi guru, respon anak (R) dan konsekuensi (Sᴿ). Terdapat jeda (interval antara percobaan) sebelum presentasi stimulus selanjutnya oleh-oleh guru.
A discrete trial: Sᴰ ———– R ———– Sᴿ
Contoh: apa ini?——– Roti——– Yaaa…kamu anak pinter.
Guru menunjukan roti, anak merespon, guru merespon sebagai penguat positif
Guru memberikan perintah dan anak merespon-dievaluasi; benar, salah, atau tidak merespon-diikuti dengan konsekuensi yang berdasar pada respon anak relatif terhadap kreteria yang telah ditentukan sebelumnya (Anderson, Taras, dan Cannon, 1996: Maurice, Green, dan Luce, 1996; Schreibman, Kaneko, & Koegel, 1991). DTT mengijinkan guru untuk memecah pecah latihan pada tahapan yang mudah, untuk menghilangkan bahasa yang membingungkan dan asing dari latihan dan untuk mempresentasikan perintah yang ringkas dan jelas (Sullivan, Sunberg, Partington, Ming, & Acquisto, 1998). DTT menggabungkan prosedur seperti errorless, shapping, modeling, prompting, fading, correction procedures dan reinforcement untuk meningkatkan keterampilan.
Laporan Manfaat dan Efek Intervensi
Studi-studi menunjukkan bahwa DTT memiliki potensi untuk menghasilkan luaran yang positif (Lovaas, 198; McEchin, Smith & Lovaas, 1993; Smith, 2001). Bahkan, DTT merupakan alat serbaguna dan efektif yang dapat digunakan untuk mengajar bentuk perilaku baru, termasuk keterampilan bahasa, gerak motorik, imitation (meniru) dan keterampilan bermain, interaksi sosial, ekspresi emosi dan pra-akademik. Sebagai tambahan, DTT dapat digunakan untuk mengurangi self stimulatory response dan perilaku agresif (Lovaas, 1981, 1987; Smith, 2001). Bagaimanapun, artikel yang berjudul “Behavioral Treatment and Normal Edukational and Intellectual Functioning In Young Autistic Children,” memicu kontroversi karena hal tersebut mengeklaim bahwa DTT dapat membimbing anak-anak untuk memperbaiki dari autism, tetapi tetapi tidak ada penelitian yang terbukti kuat. Kontroversi lainnya adalah dinyatakannya jumlah jam yang direkomendasikan DTT bagi anak autis. Beberapa ahli meyakini bahwa minimal 40 jam per minggu dibutuhkan (Lovaas, 1987), di mana sebagian lainnya meyakini bahwa intervensi secara intensif 15 jam atau lebih per minggu sama efektif. Dan lagi, ada kontroversi menurut efektivitas dari DTT dalam pengajaran keterampilan komunikasi dan sosial, khususnya membandingkan pada pendekatan naturalistik, seperti insidental teaching, my little thing dan join action routine (JARs) (baca: Simpson, 2005). Beberapa meyakini bahwa DTT secara empirical sangat kuat mendukung bagi pengajaran keterampilan bahasa reseptif dan ekspresif (Ogletree dan Oren, 2001). Selain itu, bagaimanapun, keyakinan bahwa anak dengan ASD kurang memahami fungsi perilaku komunikasi dan sifat timbal balik dari peristiwa komunikatif (Prizant, Wetherby, & Rydell, 2000; Snyder-McLean, Cripe, & McNay, 1988; Snyder-McLean, Solomonson, McLean, & Sac, 1984); karenanya, alih-alih menekankan respons yang diinginkan, intervensi yang efektif harus menunjukkan konteks motivasi, termasuk harapan dan kebutuhan untuk berkomunikasi (Prizant. et al., 2000). Reviu 8 program intervention dini bagi siswa anak autis, mulai dari intensifitas, pendekatan one on one untuk program yang menggunakan prosedur naturalistik menunjukkan bahwa level keberhasilan lintas program ini adalah sama. (Dawson & Osterling, 1997). Sejumlah besar anak-anak dalam program ini hal yang dapat dipertimbangkan dari anak-anak pada program ini dapat berfungsi dalam setting pendidikan umum, meskipun secara natural penempatan pendidikan secara umum dan jenis ketersediaan layanan dukungan untuk anak-anak bervareasi. Meskipun beberapa anak-anak memiliki keterlambatan kognitif (IQ kurang dari 70), empat program melaporkan bahwa sekitar 50% mereka dapat diintegrasikan di kelas umum pada khir intervensi dan semua atau sebagian besar anak-anak secara signifikan memberikan keuntungan. Wetherby dan Prezan, (2000) menyimpulkan bahwa temuan ini menggarisbawahi harus memahami yg mana metode intervensi secara spesifik bekerja dengan baik untuk mencapai tujuan-tujuan bagi anak-anak.
Perpaduan bagaimana hasil terkait dengan pemanfaatan intervensi bagi anak autism
Sejumlah penelitian secara signifikan mensupport penggunaan DTT pada anak autis dalam setting yang variasi. Karena penggunaan DTT, beberapa anak-anak autis memiliki keterampilan yang saling terkait, sebagai hasil, dapat dimasukkan di dalam pendidikan umum dan lingkungan khas lainnya.
Bagaimanapun kehati-hatian harus dilakukan ketika menganggap bahwa DTT seharusnya digunakan dalam preferensi untuk semua intervensi lainnya bagi anak-anak autis, khususnya bagi periode waktu yang pangjang. Setiap anak autis menunjukkan kombinasi dari kekurangan dan kelebihan yang unik dalam area yang bervariasi. Saat ini, belum ada studi yang menunjukkan bahwa DTT efektif pada semua area untuk semua anak-anak dan dan tidak ada bukti bahwa DTT selalu lebih disukai daripada metode-metode lain bagi siswa. Selanjutnya, meskipun secara empirik terbukti manjur, DTT harus diterapkan secara individual dan bijaksana. Hal tersebut adalah keyakinan bahwa DTT paling efektif ketika dikombinasikan dengan intervensi lainnya untuk meningkatkan inisiasi dan generalisasi dari keterampilan dalam berbagai setting.
Keahlian atau kecakapan individu dalam menerapkan intervensi dan bagaimana, dimana, dan kapan hal itu dapat dilakukan
Menerapkan DTT secara individual membutuhkan keterampilan khusus yang termasuk pengalaman secara praktis, teoritis dan diawasi dalam penanganan perilaku secara one on one (Lovaas, 1987). Smith membedakan antara dua level kecakapan bagi pelaksanaan DTT. Level pertama, pendidik dapat menerapkan DTT dengan supervisi, tetapi mereka tidak dapat mengembangkan kurikulum DTT bagi anak-anak secara spesifik. Level kedua, pendidik dapat program supervisi DTT dan bertanggungjawab bagi pengembangan kurikulum DTT, serta menginstruksikan guru baru untuk mengimplementasikan strategi ini. Beberapa profesional meyakini bahwa untuk mencapai level pertama, pelaksana, membutuhkan 25 sampai 60 jam pelatihan dengan supervisi. (Koegel, Russo, & Rincover, 1977; Smith, 2001: Smith, Buch, & Evslin, 2000). Seringkali, DTT digunakan oleh profesional yang telah menerima training secara ekstensif dan disupervisi oleh guru pendidikan khusus dalam setting sekolah atau konsultan pendidikan/perilaku dalam setting rumah.
Deskripsi intevensi DTT cukup mudah dipahami, tetapi dalam pelaksanaanya, seorang guru/instruktur membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup komplit. Aspek pengetahuan tentang anak autis harus benar-benar komprehnsip. Guru atau terapis harus memiliki pemehaman yang lengkap tentang anak autis dengan berbagai kompleksitas karakteristik dan permasalahannya yang sangat rumit. Aspek pskilogis guru harus benar-benar teruji kesabarannya, kematangan, kecintaan dan kasih sayang yang memadahi. Pengalaman penulis dalam memberikan pelatihan dan pendampingan kepada guru/terapis dibutuhkan waktu 2-3 tahun guru/terapis menjadi lebih baik keterampilan mengajarnya.
Beberapa meyakini bahwa DTT harus secara eksklusif digunakan dalam pengaturan tersediri dengan instruktur yang duduk di satu sisi meja dan anak di sisi lain dan dengan stimulan dan materi yang minimal. Sebaliknya, intervensi DTT dapat dilakukan di rumah, disekolah, dan masyarakat. Metode DTT dapat juga digunakan untuk untuk pembelajaran dalam setting kelompok kecil. Faktor yang paling penting dalam DTT adalah instruktur (guru) mengontrol kondisi (Sᴰ)/dan konsekuensi (Sᴿ) pada respon target spesifik (R). (Sullivan et al., 1998)
.
Banyak perdebatan tentang jumlah jam DTT dibutuhkan untuk mencapai hasil yang yang positif. Beberapa profesional meyakini percaya bahwa jumlah waktu yang harus disediakan untuk DTT yang merupakan fungsi dari usia anaki. Beberapa merekomendasikan 40 jam perminggu untuk anak autis yang yang kurang dari 4 tahun (Green 1996; Lovaas, 1987) selama 2 tahun pertama. The Committee on Educational Interventions for Children with Autism (2001) melaporkan bahwa study yang telah berusaha mereplikasi UCLA Program dengan 18 sampai 25 jam per minggu mendapatkan hal yang positif tetapi hasilnya masih terbatas. Setelah 4 tahun, intervensi DTT dapat dikurangi. Smith, Donald dan Davis (2000) menyarankan 10 jam per minggu untuk anak anak usia 5 tahun ke atas. Argumentasi lainnya ada yang 15 sampai 20 jam per minggu intervensi DTT bagi preschool dapat efektif (Rogers, 1996).
Potensi resiko intervensi
Para profesional umumnya mengakui faedah DTT untuk mengajar anak autisme dengan keterampilan yang beragam. Namun, sejumlah profesional telah memperingatkan terhadap adopsi satu intervensi dengan mengesampingkan hal lain dalam treatmen pada anak autis. (Rimland, 1999; Simpson, (2001). Anak-anak autis memiliki gaya belajar yang beragam, kekuatan dan kekurangan yang sangat unik yang membutuhkan pencocokan strategi yang sesuai dengan kebutuhan individu. Jadi, hubungan spesifik untuk pengajaran keterampilan bahasa secara pragmatis, interaksi sosial, dan keterampilan secara umum, intervensi seperti program interaksi sosial yang diprakarsai teman sebaya, metode pengembangan bahasa pragmatis, dan metode naturalistik lainnya boleh jadi lebih efektif disbanding DTT. (Heflin dan Simpson, 1998).
Metode Evaluasi Yang Tepat Dari Intervensi Anak Autis
Komponen penting dan kuat dari DTT adalah pada keterampilan anak autis. Data baseline dibutuhkan sebelum keterampilan target perilaku baru diajarkan. Data selanjutnya secara reguler dikumpulkan dari respon siswa pada percobaan selama setiap sesi. Data yang luas juga dipertahan pada perilaku siswa selama intervensi. Hal ini diberikan Guru dan Orang Tua dengan sejumlah informasi yang signifikan mengenai progres anak yang ada (yang kurang ataupun yang maju). Data secara reguler dianalisis dan grafik untuk memberikan wawasan tentang pola-pola perilaku dan keterampilan yang diperoleh. Data juga dapat membantu dalam menentukan instruktur mana yang mendapatkan tanggapan terbaik dalam menunjukkan cara yang tepat untuk dipilih sebagai cara memberikan instruksi dan konsekuensi atau reinforcement yang mana paling efektif dalam memfasilitasi perolehan keterampilan. Kami juga percaya hal tersebut sangat penting untuk tim yang bekerja dengan anak-anak untuk secara konsisten melakukan evaluasi kembali metode pengajaran mereka dan memastikan anak-anak enjoy dalam proses pembelajaran dan menggeralisasikan keterampilan baru.
Conclusion
Terdapat kesepakatan secara keseluruhan antara profesional bahwa DTT memiliki ke bermanfaatan yang tinggi dalam mengajar siswa autis pada keterampilan yang bervariasi (Smith, 2001). Lagipula, DTT merupakan salah satu intervensi yang telah tervalidasi secara empiric yang berguna untuk anak-anak autis. Bagaimanapun, kehati-hatian perlu dilakukan untuk tidak mengadopsi teknik ini dengan mengesampingkan secara keseluruhan. Untuk merespon secara efektif kebutuhan yang luas dan kompleks anak autis, direkomendasikan bahwa DTT digunakan dalam kombinasi dengan intervensi berbasis empiris lainnya. Dan, yang paling penting, metode intervensi dan kebutuhan pembelajaran harus cocok kepada kebutuhan individu yang diberikan kepada anak autis.
Referensi:
Simpson, Richard L. (2005). Autism Spectrum Disorder, Interventions and Treatments for Children an Youth. California: Corwin Press A Sage Publications Company