GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK) DI SEKOLAH INKLUSI (Konsep Guru Pembimbing Khusus/GPK; Sebuah Gagasan)

Foto: Pelatihan Pendidikan Inklusif Pasca Gempa Palu, Plan Internasional, Palu, Sulawesi Tengah

PENGANTAR

Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia terus bergerak. Implementasi pendidikan inklusif pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah terus berkembang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya jumlah Satuan Pendidikan Penyelengara Pendidikan Inklusif (SPPPI) pada tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah makin bertambah jumlahnya dan menunjukan kualitas layanan ke arah yang lebih baik. Namun demikian, harus diakui masih sangat banyak sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang masih jauh dari harapan.

Pada tahun 2019 jumlah Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPPI) yakni 18.542 Sekolah Dasar (SD), 7.216 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 3.560 Sekolah Menengah Atas sederajat. Jumlah SPPPI tersebut melayanani 104.931 Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) dengan rincian yakni 69.649 PDBK di SD, 23.497 PDBK di SMP dan 11.785 di SMA sederajat. Jenis hambatan yang ada di Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPPI) sangat beragam. Adapun beberapa jenis hambatan yang umum ada di sekolah inklusi seperti anak berkesulitan belajar, hambatan, penglihatan, hambatan pendengaran, slow learner, dan hambatan fisik dan lain-lainnya. (Dapodik, 2019). Sunguh fantastik!

Tabel. 01. Jumlah SPPPI dan Peserta Didik Bekebutuhan Khusus (PDBK)

NO JENJANG/JENIS SEKOLAH INKLUSIF SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS
1 Sekolah Dasar

Kelas I – VI

18.541 69.649
2 Sekolah Menengah PertamaKelas VII – IX 7,216 23.497
3 Sekolah Menengah Atas

Kelas X – XII

1.783 6.373
4 Sekolah Menengah Kejuruan

Kelas X – XII

1.777 5.412
JUMLAH 29.317 104.931

Sumber: Dapodik, 2019

Implementasi pendidikan inklusif di satuan pendidikan memiliki tantangan-tantangan yang berbeda-beda. Tentu tantangannya sangat tergantung pada kondisi setiap sekolah dan berbagai dukungan yang dimiliki sekolah baik secara eksternal maupun internal. Faktor dukungan eksternal seperti adanya kebijakan pemerintah daerah dan peran masyarakat umum merupakan faktor penting bagi terselenggaranya sekolah inklusi. Adanya regulasi terkait pendidikan inklusif pada level daerah; propinsi (Pergub), kabupaten (Perbub)/ kota (Perwal) yang mengatur penyelenggaraan SPPPI; dan kesadaran serta penerimaan masyarakat tentang keberagaman peserta didik menjadi bagian dari sekolah adalah hal yang sangat penting bagi dasar pengembangan pendidikan inklusif. Faktor dukungan internal seperti eksistensi pengawas, kepala sekolah dan guru kelas serta guru mata pelajaran di sekolah adalah faktor utama dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas sebagai bagian dari implementasi pendidikan inklusif.

Berbicara tentang SPPPI, salah satu yang menjadi tantangan utama adalah peran guru, baik guru kelas dan Guru Mata Pelajaran (Mapel), Guru Bimbingan dan Konselin (BK) dan adanya dukungan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Tantangan utamanya adalah bagaimana guru menciptakan pembelajaran yang dapat mengakomodasi semua peserta didik tak terkecuali PDBK dalam kelas yang inklusif. Guru di sekolah umum selama ini cenderung memilih menghadapi peserta didik yang homogen, meskipun kenyataanya peserta didik yang dihadapi adalah hiterogen (beragam dan beranekaragam). Dengan homogenitas peserta didik di kelas, guru dengan mudah melakukan pengelaolaan pembelajaran di kelas dibanding kelas yang peserta didiknya beragam.

Guru seringkali kesulitan ketika menghadapi peserta didik yang beragam dalam kelas. Guru tidak siap untuk menciptakan pembelajaran yang mengakomodasi semua peserta didik.  Sebagai contoh ketika guru mengajar di dalam kelas yang terdapat peserta didik yang berbeda dari peserta didik kebanyakan karena kondisi  fisik, emosi, kemampuan berkomunikasi dan bahasa, perilaku dan kemampuan kognitif (PDBK), maka guru cenderung bingung,  menyerah, mangabaikan, dan meninggalkan PDBK (tidak diikutkan dalam proses belajar) sehingga peserta didik tersebut tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan belajar bersama teman-temannya. Hal ini dikarenakan guru umum tidak memahami tentang PDBK (keberagaman dan keanekaragaman peserta didik) dengan baik sehingga guru umum kurang berusaha untuk menemukan inisiatif dalam menciptakan pembelajaran yang dapat melibatkan dan meningkatkan partisipasi semua peserta didik termasuk di dalamnya PDBK sehingga mencapai prestasi yang sesuai dengan kemampuan PDBK tanpa mengabaikan peserta didik pada umummya. Guru masih memiliki perspektif bahwa anak yang berbeda karena kondisi tertentu (PDBK) adalah bukan menjadi bagian peserta didik di kelasnya, merepotkan, menambah pekerjaan, sebaiknya diberikan pendampingan khusus dan berbagai alasan lainnya.

Untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif pada SPPPI, maka dibutuhkan dukungan (supporting) yang salah satunya adalah adanya Guru Pembimbing Khusus (GPK). Permendiknas 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa pasal 10 menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Dengan hadirnya GPK diharapkan dapat memberikan dukungan sekolah agar terciptanya praktik pembelajaran yang terbaik bagi semua peserta didik tak terkecuali termasuk di dalamnya adalah PDBK. Dukungan GPK pada pengembangan dan penyelenggaraan sekolah inklusi, lebih spesifik kepada guru dapat dimulai dari masa persiapan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran.

Pada bagian ini, Penulis akan menjelaskan sejarah GPK, beberapa istilah GPK, reulasi tentang GPK, definisi GPK, fungsi dan tugas GPK dan tantangan guru di sekolah inklusi..

SEJARAH AWAL MULA ISTILAH GPK

Istilah Guru Pembimbing Khusus (GPK) sebenarnya sudah digagas sekitar tahun 1979. Mulanya, menurut Dr. Sari Rudiyati, M.Pd, Dosen PLB Universitas Negeri Yogyakarta dalam tulisan skripsinya tahun 1981 dengan judul “Studi Kasus tentang Pelaksanaan Tugas Guru Pembimbing Khusus pada Pendidikan Terpadu Tunanetra di DIY Tahun 1980-1981 yang memaparkan bahwa pada tahun 1977 Dr. J. Kenmore dari Helen Keller International Incorporated berkunjung ke Indonesia dan melakukan ceramah-ceramah di Jakarta dan Bandung. Kedatangannya bertujuan untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan membantu meningkatkan usaha-usaha pendidikan para tunanetra.

Selanjutnya terjadilah kesepatan kerjasama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan Helen Keller International Incorporated untuk menyelenggarakan kegiatan Program Pendidikan Terpadu (mainstreaming). Selanjutnya dipersiapkanlah kegiatan kursus-kursus pelatihan untuk Program Pendidikan Terpadu bagi Anak Tunanetra. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut sebagai berikut:

  1. Penyelenggaraan Kursus Penataran Dosen-Dosen IKIP dan Guru-Guru SGPLB Yogyakarta dan Bandung yang langsung mengelola bidang pendidikan tunanetra, pada tanggal 5 April sampai dengan 2 Juni 1978, di Bandung
  2. Kursus Penataran Pendidikan Terpadu bagi anak Tunanetra, untuk mempersiapkan tenaga Guru Pembimbing Khusus (GPK) Angkatan Ke-I dari tanggal 27 Nopember 1978 sampai dengan 24 Maret 1979 di Bandung untuk menghadapi implementasi di Bandung dan sekitarnya.
  3. Kursus Penataran tentang Masalah Kurang-Lihat (low-Vision) bagi Dosen IKIP pengelola bidang pendidikan Tunanetra, serta Guru-Guru SGPLB dan SLB Bagian A Jurusan Tunanetra pada tanggal 8 Oktober sampai dengan 3 Nopember 1979 di Bandung.
  4. Kursus Penataran Pendidikan Terpadu bagi Anak-anak Tunanetra untuk mempersiapkan tenaga Guru Pembimbing Khusus Angkatan Ke-II dari tanggal 5 Nopember 1979 sampai 5 Maret 1980 di Bandung untuk menghadapi implementasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Disamping kursus-kursus juga telah diselenggarakan survey atau studi kelayakan pelaksanaan Pendidikan terpadu Tunanetra secara berturut-turut di Bandung tahun 1978, di Yogyakarta tahun 1979 dan di Surabaya tahun 1980.

Selanjutnya, setelah dilakukannya Kursus Penataran Pendidikan Terpadu bagi Anak-anak Tunanetra untuk mempersiapkan tenaga Guru Pembimbing Khusus angkatan pertama dan kedua pada tahun 1979, maka terbitlah Surat Keputusan dari Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 1462/G/T/80 tertanggal 21 April 1980 tentang Pengangkatan  Guru-Guru untuk Proyek Perintisan Pendidikan Terpadu bagi Anak-Anak Tunanetra pada Delapan Sekolah Dasar di Bandung dan Tiga Belas Sekolah Dasar di DIY.

Dr. Sari Rudiyati, M.Pd (1981) menjelaskan bahwa Pelaksanaan Pendidikan Terpadu Tunanetra di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni 17 Maret 1980-20 Juli 1982. Pelaksanaan program rintisan sekolah terpadu tunanetra di Yogyakarta ada 16 sekolah. Beberapa sekolah tersebut seperti di SD IMPRES Purwodiningratan (sekolah basis), SD IMPRES Tegalyoso (sekolah kunjungan), SD Taman Sari, SD Muhammadiyah Wirobrajan di Kota Yogyakarta, dan SD Inpres Pojok di Kabupaten Sleman. Jumlah GPK yakni 14 orang. Syarat GPK adalah mengikuti Kursus Penataran Pendidikan Terpadu Bagi Anak Tunanetra dari tanggal 27 Nopember 1978 sampai dengan 24 Maret 1979, di Bandung. Program Pendidikan Terpadu Tunanetra di Yogyakarta terdiri yakni Program Ruang Bimbingan dan Program Guru Keliling.  Program Ruang Bimbingan melibatkan 12 sekolah dasar yang ditangani oleh 12 GPK. Program Guru Keliling dilakukan oleh 2 orang GPK. Pada waktu itu tugas pokok GPK bagi anak tunanetra di Program Pendidikan Terpadu antara lain adalah:

  1. Tugas Penyelenggaraan administrasi khusus, yaitu mengadakan pencatatan segala gatra administrasi dari anak-anak tunanetra, yang tidak termasuk lingkup adminsitrasi dari sekolah bersangkutan.
  2. Tugas menyelenggarakan evaluasi khusus, yaitu mengadakan evaluasi terhadap anak tunanetra yang tidak menjadi bagian dari tugas-tugas evaluasi para guru dari sekolah bersangkutan.
  3. Tugas membina hubungan antara manusia yakni mengadakan pembinaan hubungan yang serasi dan wajar terhadap semua orang yang terlibat di dalam pelaksanaan pendidikan terpadu tunanetra.
  4. Tugas pengembangan program pendidikan terpadu yakni mengadakan pengenalan terhadap wilayah sekitar sehingga mengetahui adanya anak-anak tunanetra usia sekolah dan atau balita yang perlu dipersiapkan.

Pada tahun 1980, di Daerah Istimewa Yogyakarta ditunjuklah Ketua Unit Pelaksanaan Pendidikan Terpadu Tunanetra Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Frans Harsana Sasraningrat, M.Ed dari IKIP Yogyakarta yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 0351/G3/G/80 tertanggal 28 Januari 1980 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Dalam Rangka Proyek Kerjasama dengan Helen Keller International Incorporated di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Istilah GPK mulai muncul sejak tahun 1977-1980 melalui program sekolah terpadu waktu itu. Setelah penugasan GPK pada tahun 1980-1982, penulis tidak mendapatkan informasi yang memadahi tentang eksistensi GPK antara tahun 1982-2000-an. Istilah GPK muncul kembali di beberapa daerah seperti di Jawa Tengah. Pada tahun 2004-2005, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah membuka penerimaan guru bantu dengan latar belakang pendidikan khusus yang berjumlah antara 8-12 guru yang ditugaskan di sekolah umum. Namun sayangnya, pada tahun 2008 hampir semua GPK tersebut berpindah tugas ke Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan berbagai alasan. Di Jawa Timur, GPK juga mulai dimunculkan sekitar tahun 2002-2006. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan GPK mulai dikenal tahun 2007 yang ditempatkan di sekolah inklusi. Mungkin di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jakarta juga tidak jauh berbeda. Sementara tulisan ini selesai, penulis terus mencoba mencari informasi tentang hal tersebut.

BEBERAPA ISTILAH GPK YANG BERKEMBANG

Beberapa istilah GPK menjadi bervariatif pada praktiknya mulai sekitar tahun 2000-an bersamaan dengan berkembangnya penyelenggaraan sekolah inklusi di Indonesia selama ini. Sebutan GPK yang berkembang saat ini yakni ada sebutan guru pendamping dan Shadow Teacher. Ketika sekolah-sekolah umum, dimana di sekolah umum terdapat peserta didik berkebutuhan khusus, guru seringkali menghadapi masalah. Hampir semua guru menyatakan ketidaksanggupanya untuk mengajar di kelas dimana terdapat peserta didik yang memiliki kondisi baik sosial, emosi, perilaku, bahasa dan fisik serta kemampuan kognitif yang jauh berbeda dengan peserta didik umum lainya. Secara pragmatis, guru mengusulkan agar peserta didik dengan kondisi ini bersekolah di Sekolah Khusus (SKh) atau masyarakat lebih mengenal dengan istilah Sekolah Luar Biasa (SLB).   Itu lebih tepat kata guru-guru umum menegaskannya.

Isu pendidikan inklusif di dunia pendidikan terus bekembang sejak tahun 2000-an.  . Masyarakat umum dan pendidikan mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi semua anak tak terkecuali anak-anak berkebutuhan khusus. Sejak itu, sekolah umum mulai sudi menerima ABK tertentu namun dengan catatan yakni anak harus ditemani selama di sekolah. Beberapa sekolah menyebutnya dengan istilah guru pendamping, Shadow Teacher (guru bayangan) dan GPK.

Menurut penulis, istilah guru pendamping, shadow teacher dan guru pembimbing khusus (GPK) dimaksudkan pada hal yang sama yakni membantu proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru kelas atau Guru Mata Pelajaran (Mapel) sehingga semua anak dapat belajar bersama-sama. Memang secara teknis, guru pembimbing khusus, guru pendamping dan shadow teacher terdapat kesamaan tugas yakni melakukan pendampingan pada peserta didik berkebutuhan khusus di kelas. Selain itu, ketiganya juga berperan dalam memberikan layanan individual bagi peserta didik berkebutuhan khusus di luar jam pelajaran berdasarkan program kebutuhan yang telah dibuat. (Program Pendidikan Individual/PPI).

Kebutuhan guru pendamping, shadow atau GPK yakni untuk mendampingi dan menemani anak berkebutuhan khusus selama melakukan kegiatan di sekolah; dimanapun dan kapanpun. Dalam proses belajar, guru pendamping, shadow atau GPK duduk disamping anak sementara guru kelas atau mata pelajaran mengajar di depan. Pada jam istirahat, guru pendamping, shadow atau GPK menemani bermain, membantu anak makan snack, mendampingi anak ke toilet jika belum mandiri dan lain sebagainya. Intinya adalah membantu memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus selama di sekolah.

Tiga istilah yakni guru pendamping, shadow teacher atau GPK berkembang begitu saja di sekolah-sekolah inklusi. Guru pendamping berbeda makna dengan pendamping guru. Disebut guru pendamping karena guru tersebut bertugas memberikan pendampingan pembelajaran bagi PDBK di kelas. Beda lagi dengan istilah shadow teacher (guru bayangan) yang secara harafiah berperan mendampingi PDBK yang diilustrasikan seperti “bayangan” dimana selalu membayangi PDBK kemana beraktifitas. Selain itu diksinya sangat “keren”, “shadow!”. Yang berbeda lagi adalah berbahasa inggris. Sedang guru pembimbing khusus dimaknai memberikan bimbingan baik kepada PDBK dan guru meski pada umumnya tugas yang menonjol adalah membimbing PDBK di kelas. (baca: mendampingi).

Pada tahun 1998-2010, penulis pernah memberikan bantuan pendampingan bagi orang tua dari anak autism yang bersekolah di SD umum, di Jakarta. Pada tahun itu, yang menarik adalah penerapkan guru pendamping, shadow atau GPK di kelas, beberapa sekolah peran guru pendamping, shadow atau GPK dapat dilakukan oleh orang tua (ibunya), baby sitter, guru privatnya, terapis atau guru pendamping/shadow/GPK yang disediakan oleh sekolah tersebut. Guru pendamping atau shadow diharapkan mengerti anak dan tahu bagaimana membantu anak belajar di kelas. Bagi sekolah yang menerapkan kebijakan bahwa guru pendamping, shadow atau GPK disediakan oleh sekolah, maka orang tua harus menambah biaya pendidikan di luar biaya bulanan. Perlu diketahui bahwa pada waktu itu yang mengembangkan system ini kebanyakan adalah sekolah swasta.

Bersamaan dengan meningkatnya kebutuhan “GPK”, sejak itu banyak berkembang lembaga provit atau non provit yang menyediakan jasa pengadaan guru pendamping, shadow atau GPK. Calon guru pendamping, shadow atau GPK diberikan pelatihan untuk beberapa waktu (waktu itu; khusus autism) karena mereka pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadahi tentang autism dan pendidikan pada umumnya. Calon guru pendamping, shadow atau GPK tidak harus memiliki latar belakang pendidikan khusus. Adapun beberapa berlatar belakang pendidikan calon guru pendamping, shadow atau GPK seperti perawat, terapis, guru Bahasa Indonesia, sarjana pendidikan agama islam, telogogi, lulusan fakultas hukum, sastra inggris, guru pendidikan usia dini dan lain sebagainya. Menarik bukan?

GPK DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Isu GPK sebenarnya sudah muncul jauh pendidikan khusus belum dikenal sebagaimana saat ini. Pada tahun 1980-an di Indonesia sudah mengembangkan sekolah terpadu atau dikenal dengan “Maisntreaming”. Mainstreaming merupakan integrasi sosial, instruksional dan temporal anak berkebutuhan khusus dengan teman-teman “normalnya”, berdasarkan pada kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual, serta memerlukan klasifikasi tanggung jawab koordinasi dalam penyusuanan program oleh tim dari berbagai profesi dan disiplin. (Kauffman, Gottlieb, Agard dan Kukic, 1975). Pada projek ini dibutuhkan guru kunjung untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah umum yang pada waktu itu peserta didik yang menjadi fokus perhatian adalah anak-anak tunanetra. Sejak itulah guru kunjung yang disebut dengan guru pembimbing khusus mulai dikenal secara terbatas.

Di beberapa regulasi pada tahun-tahun selanjutnya istilah GPK dimunculkan. Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor  17  Tahun  2010  Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 171 ayat 2 huruf J guru pembimbing khusus dinyatakan sebagai pendidik profesional membimbing, mengajar, menilai, dan mengevaluasi peserta didik berkelainan pada satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Definisi ini menunjukkan tugas pembimbingan kepada peserta didik yang menggunakan istilah berkelainan yakni dimaksudkan untuk semua jenis hambatan (semua ABK), tidak terbatas pada anak tunanetra saja.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru Pasal 1 no 1 menuliskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Pasal 15 ayat 2e dinyatakan bahwa guru yang mendapat tugas tambahan sebagai pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi atau pendidikan terpadu. Pasal 15 ayat 6b menjelaskan bahwa tugas tambahan tersebut memiliki ekuivalensi beban kerja tugas tambahan yakni 6 (enam) jam tatap muka. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, Dan  Pengawas Sekolah mengatur pada Pasal 5 ayat 2 bahwa pemenuhan beban kerja guru pendidikan khusus dengan tugas tambahan sebagai guru pembimbing khusus dalam melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan diekuivalensikan dengan 6 (enam) jam Tatap Muka per minggu.

Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus Pasal 1 ayat 2 dituliskan bahwa guru pendidikan khusus adalah tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial dan/atau potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, dan/atau satuan pendidikan kejuruan. Pasal 2 ayat (1) Penyelenggara pendidikan khusus wajib mempekerjakan guru yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru pendidikan khusus yang berlaku secara nasional. Penyelenggaraan pendidikan khusus dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomer 23 tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan khusus dapat diselenggarakan di sekolah khusus dan secara inklusif. Ini artinya guru pendidikan khusus memungkinkan untuk menjadi guru pembimbing khusus di sekolah umum/inklusi.

Dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang  Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa pada pasal 10 dinyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 171 yang menyatakan bahwa guru pembimbing khusus merupakan pendidik profesional yang berperan membimbing, mengajar, menilai, dan mengevaluasi peserta didik berkelainan pada satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan.

Berdasarkan beberapa penjelasan peraturan-peraturan tersebut di atas menunjukkan bahwa GPK adalah guru dengan tugas tambahan. Guru yang dimaksud adalah guru kelas, guru mata pelajaran dan atau guru BK. Meski penyelengaraan pendidikan khusus dapat diselenggarakan melalui sekolah khusus dan secara inklusif, tidak disebutkan dengan jelas pada peraturan-peraturan tersebut bahwa guru pendidikan  khusus dapat menjadi guru pembimbing khusus dengan tugas tambahan. Jika guru pendidikan khusus menjadi GPK sebagai tugas tambahan, lalu pertanyaannya adalah apa tugas pokoknya di sekolah umum?. Guru pendidikan khusus tidak mungkin menjadi guru kelas atau guru mata pelajaran secara system. Dengan demikian, jika GPK diperankan oleh guru pendidikan khusus, maka regulasi harus mengatur dan menetapkan guru pendidikan khusus sebagai GPK dengan tugas utama.

PERMASALAHAN GPK SEBAGAI TUGAS TAMBAHAN

GPK dikonsepsikan sebagai tugas tambahan. Secara faktual, GPK diperankan oleh guru kelas (SD), guru mapel (SMP, SMA/SMK) dan guru pendidikan khusus dari Sekolah Khusus (SKh) sebagai tugas tambahan. Beban tugas tambahanya adalah 6 JP. (Permendikbud No. 15 Tahun 2018 tentang Beban Kerja Guru). Kebijakan tentang GPK sebagai tugas tambahan memang terlihat realistis. Namun demikian, upaya peningkatan kompetensi GPK sebagai tugas tambahan yang diperankan oleh guru kelas atau mata pelajaran harus terus dilakukan. Peningkatan kualitas profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian serta kompetensi tambahan terkait dengan pengetahuan dan keterampilan spesifik terhadap layanan pendidikan khusus yang harus dimiliki.

Memperhatikan tugas GPK pada tabel 02 di bawah, kenyataanya tidak mudah diperankan secara maksimal oleh GPK dengan tugas tambahan. Bagi guru kelas atau mata pelajaran yang diberikan tugas tambahan sebagai GPK tentu harus memiliki kompetensi yang mumpuni terkait tugas yang diembannya. Selain itu, manajeman waktu bagi guru dengan tugas tambahan sebagai GPK tidak mudah dilakukan sehingga peranya menjadi tidak maksimal. Guru kelas ataupun guru mata pelejaran sudah cukup tersibukkan dengan tugas utamanya. Tugas tambahan sangat mungkin dilakukan setelah tugas utamanya terpenuhi bukan?

Berdasarkan pengalaman penulis memberikan pelatihan di berbagai propinsi, kabupaten/kota di Indonesia mendapatkan informasi bahwa GPK sebagai tugas tambahan adalah penunjukkan. Yang menarik adalah pengakuan guru atas tugasnya karena terpaksa. Celakanya lagi, sejak penunjukan guru sebagai GPK hanya sekali pernah diberikan sosialisasi tentang pendidikan inklusif, bukan pelatihan/workshop pembelajaran dari identifikasi, asesmen, pembuatan PPI, pembuatan Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) Akomodatif, penilaian dan seterusnya. Padahal tugas yang diembanya sudah menginjak tahun ke 3.

Harus diakui bahwa peran GPK sebagai tugas tambahan sangat membantu, tetapi tidak menunjukkan fungsi dan tugasnya berjalan dengan maksimal karena berbagai masalah. Masalah yang paling nyata adalah bagaimana guru kelas atau guru mata pelajaran berbagi waktu tugas sebagai GPK untuk membantu peserta didik berkebutuhan khusus yang berada dalam kelas-kelas yang berbeda dan dalam waktu yang sama guru harus mengajar kelas, memberikan layanan bagi PDKB dalam jumlah tertentu dan waktu yang berbeda-beda. Dengan kata lain manajemen waktu adalah masalah utama bagi GPK sebagai tugas tambahan. Masalah lain adalah terkait dengan kompetensi spesifik dari GPK dalam mengenal semua jenis ABK, melakukan identifikasi dan asesmen, membuat program pendidikan individual anak, dan membuat desain pembelajaran dengan memperhatikan karakteristik dari setiap jenis anak berkebutuhan khusus yang ada (penanganan dan pembelajaran). Para GPK mengaku kesulitan dan bingung apa yang harus dilakukan ketika menghadapi PDBK karena belum memiliki kompetensi yang memadahi dalam memberikan pembelajaran dalam kelas dengan peserta didik beragam, pengenalan jenis dan penanganan anak berkebutuhan khusus dan program khusus bagi anak berkebutuhan khusus.

GPK sebagai tugas tambahan, pada praktiknya di sebagian besar Pemerintah Kabupaten Kota masih terbatas jumlah dan peranya. Kualitas GPK pada umumnya masih sangat jauh dari harapan. GPK masih menjadi unsur pelengkap saja, yang penting ada, menjadi “lipstik” untuk menambah kecantikan wajah pendidikan inklusif. Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota sangat diharapkan memberi kontribusi yang besar pada peningkatan kualitas GPK misalnya ada agenda rutin pelatihan bagi GPK. Sungguh, harus diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya bagi daerah yang telah berupaya memberikan pengetahuan dan keterampilan tambahan terkait dengan layanan dan penenagnan anak berkebutuhan khusus melalui berbagai model pelatihan/workshop peningkatan kompetensi GPK sebagai tugas tambahan, atau calon GPK dikirim ke Perguruan Tinggi untuk menempuh pendidikan S1 Program Pendidikan Khusus.

Dulu, pernah ada GPK sebagai tugas tambahan yang diperankan oleh guru dari SKh. Program ini sama juga kurang efektif jika melihat fungsi dan tugas GPK yang di emban. Selain jumlah SKh di sebagian daerah yang terbatas dan dalam jangkauan yang cukup jauh, pengaturan waktu kunjung oleh guru SKh ke SPPPI tidak selalu tepat waktunya (saat krusial, timing yang tepat) atau sangat tergantung pada tugas utamanya di SKh. Bebarapa kondisi menunjukkan bahwa guru di SKh jumlahnya terbatas, sehingga ketika ada guru SKh meninggalkan sekolah untuk mengunjungi ke SPPPI, peserta didik di SKh menjadi tidak terlayani secara maksimal. Guru SKh memiliki peran yang kompleks di sekolahnya. Tugas tambahan sebagai GPK tidak mudah untuk dilakukan bagi guru SKh. Ini adalah tantangan yang nyata dari Guru dan GPK sebagai tugas tambahan

GPK sebagai tugas utama adalah pilihan yang perlu dipertimbangkan. GPK tidak berfungsi dan bertugas sebagai tambahan. GPK diperankan oleh guru yang memiliki kompetensi terkait dengan pendidikan khusus yakni GPK dengan latar belakang pendidikan khusus. GPK dengan latar belakang pendidikan khusus dipastikan memiliki kompetensi spesifik terkait dengan pengetahuan dan keterampilan mengenali berbagai jenis anak berkebutuhan khusus dan karakteristiknya, cara mengidentifikasi, melakukan asesmen dan membuat laporanya, pembuatan PPI dan pelaksanaanya, serta penerapan model layanan pendidikannya baik individu maupun setting kelas.

Konsep GPK sebagai tugas utama dapat didefinisiskan bahwa GPK adalah guru pendidikan khusus yang ditempatkan dan ditugaskan di sekolah umum (baca: sekolah inklusi) guna memberikan dukungan secara kolaboratif pada guru kelas dan atau guru mata pelajaran sehingga tercapai pembelajaran yang berkualitas bagi seluruh peserta didik. (all student). Dengan latar belakang pendidikan khusus, diharapkan GPK sebagai tugas utama dapat berfungsi menjadi sumber informasi bagi semua pihak yang terlibat dalam layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus dan merencanakan serta melaksanakan jejaring kerjasama dengan berbagai pihak, disamping sebagai fungsi utama dalam pembelajaran yakni melakukan pembimbingan, konsultasi, dan kolaborasi bersama guru mapel, guru kelas, guru BK, guru TIK, dan/atau orang tua serta masyarakat dapat berjalan secara maksimal.

GPK SEBAGAI TUGAS UTAMA, KENAPA TIDAK?

Isu pendidikan inklusif terus berkembang. Implementasi pendidikan inklusif terus diinisiasi oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Pada akhirnya, keluarlah kebijakan pemerintah pusat yakni Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang  Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.  Pada pasal 10 dinyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Istilah guru pembimbing khusus dijelaskan pada PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 171 yang menyatakan bahwa guru pembimbing khusus merupakan pendidik profesional yang berperan membimbing, mengajar, menilai, dan mengevaluasi peserta didik berkelainan pada satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan.

Pada Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 dan PP No. 17 Tahun 2010 disebutkan dengan istilah guru pembimbing khusus yang selanjutnya para penggiat pendidikan inklusif menyingkatknya menjadi GPK. Secara legal formal disebut dengan guru pembimbing khusus bukan guru pendamping atau shadow. Namun demikian, istilah guru pendamping ataupun shadow teacher masih sering digunakan untuk maksud yang sama di sekolah-sekolah inklusi.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa seorang GPK harus memiliki kompetensi khusus yang digunakan untuk memberikan layanan pendidikan dan penanganan anak berkebutuhan khusus baik dalam setting kelas inklusif dan individual. Ini berarti bahwa GPK harus memiliki kompetensi sebagai guru umum yakni  pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Selain itu GPK juga harus memiliki kemampuan terkait pendidikan anak-anak pada umumnya, kemampuan memberikan pendidikan bagi anak berkbutuhan khusus dan kemampuan dalam memberikan penanganan kepada setiap jenis anak berkebutuhan khusus. Pada bagian terakhir ini pada dunia pendidikan khusus disebut dengan program khusus. Oleh karena itu, seorang GPK tidak hanya memerlukan 4 kompetensi utama sebagai seorang guru tetapi juga harus memiliki kompetensi khusus yang digunakan untuk menangani anak berkebutuhan khusus.

Dengan melihat kompetensi GPK yang sedemikian hebatnya, apakah mungkin GPK diperankan sebagai tugas tambahan. Ini artinya GPK di definisikan sebagai guru kelas atau matapelajaran yang diberikan tugas tambahan untuk memberikan bantuan kepada guru lainya dan peserta didik berkebutuhan khusus mulai dari identifikasi, asesmen, membuat PPI, membuat desain pembelajaran yang akomodatif, melakukan evaluasi, mendampingi PDBK dan memberikan layanan tambahan bagi PDBK dan atau layanan progsus (Program Kebutuhan Khusus; Kompensatoris). Implikasi dari tugas GPK sebagai tugas tambahan sepertinya cukup menantang. Berdasarkan pengalaman Penulis selama bertahun-tahun berinteraksi dengan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan GPK, mereka mengaku kurang efektif atas tugas GPK sebagai tugas tambahan.

Bagaimana kalau tugas GPK adalah tugas utama, bukan tugas tambahan? Menurut hemat Penulis, seyogyanya GPK diperankan oleh guru yang memiliki kompetensi memadahi guna mendukung terselenggarakanya pendidikan yang berkualitas bagi semua peserta didik. GPK tidak mungkin lagi diperankan sebagai tugas tambahan. GPK harus sebagai tugas utama dan memiliki kualifikasi pendidikan khusus yang mumpuni. Di banyak kota kabupaten telah berupaya mewujudkan adanya GPK sebagai tugas utama seperti di Kota Pasuruan, Kota Salatiga, Kota Malang, Kota Padang, Riau, Surabaya, Tulung Agung, Semarang, Propinsi Jakarta dan Kota Solo dan mungkin masih banyak lagi.

Berdasarkan paparan di atas maka GPK dapat didefinisikan sebagai guru yang memiliki kualifikasi guru pendidikan khusus yang ditempatkan dan ditugaskan di sekolah umum (baca: sekolah inklusi) guna memberikan dukungan secara kolaboratif dengan unsur pelaksana sekolah sehingga tercapainya tujuan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh peserta didik. (all student). Definisi ini mengisyarakan bahwa lulusan dari prodi pendidikan khusus/pendidikan luar biasa adalah satu-satunya yang memungkinkan bertugas sebagai GPK karena kompetensinya. GPK ini ditempatkan di sekolah umum dan bekerja secara kolaboratif dengan guru. Keberadaan GPK bukan untuk PDBK saja tetapi untuk semua anak, bahwa pada praktiknya dalam kelas GPK akan dominan kepada PDBK.

GPK di sekolah inklusi dengan kualifikasi guru pendidikan khusus sangat ideal, tetapi faktanya secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya. Hal ini dikarenakan jumlah perguruan tinggi dengan Prodi Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa sangat terbatas. Alasan pokok dari kondisi ini adalah tidak diakuinya atau legalitas GPK dengan lulusan pendidikan khusus sebagai salah satu jenis guru dalam system pendidikan Pemerintah Indonesia dimana hingga saat ini guru pendidikan khusus secara legalitas hanya dapat bekerja di Sekolah Luar Liasa (SLB). Oleh karena itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI harus membuat kebijakan/regulasi yang membuka peluang para lulusan Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa menjadi Guru Pembimbing Khusus sebagai tugas utama yang penempatan kerjanya di sekolah inklusi. Ini sangat penting bagi kemajuan pendidikan inklusif di Indonesia.

FUNGSI DAN TUGAS GPK

Sebagai tenaga pendidik, tugas GPK membutuhkan banyak pengetahuan dan keterampilan terkait dengan pembelajaran dan PDBK. Adapun fungsi dan tugas GPK dapat dilihat dalam tabel di bawah ini adalah sebagai berikut (Yusuf, Munawir, 2019):

Tabel 02. Tabel Fungsi dan Tugas GPK

GURU PEMBIMBING KHUSUS/GPK
FUNGSI TUGAS
1. Menjadi sumber informasi bagi semua pihak yang terlibat dalam layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus. 1.1   Memberikan informasi tentang layanan pendidikan inklusif, a.l:•       Adaptasi pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus

•       Penciptaan lingkungan pembelajaran yang ramah kepada semua peserta didik

•       Penerimaan Peserta Didik Baru Berkebutuhan Khusus

1.2  Melakukan dokumentasi hasil identifikasi, asesmen, dan portofolio peserta didik berkebutuhan khusus.

2. Melakukan pembimbingan, konsultasi, dan kolaborasi bersama guru mapel, guru kelas, guru BK, guru TIK, dan/atau orang tua. 2.1   Proses identifikasi dan asesmen•       Menginisiasi pembentukan tim identifikasi dan asesmen

•       Penyusunan instrumen identifikasi dan asesmen

•       Pelaksanaan identifikasi dan asesmen

•       Analisis dan pengambilan kesimpulan

2.2   Menginisiasi pengembangan program pendidikan yang diindividualkan, bersama tim yang terdiri dari: orang tua, guru kelas/guru mapel/guru BK/guru TIK, ahli lain yang sesuai dengan kebutuhan, dan kepala sekolah

2.3   Implementasi PPI, menilai kinerja siswa, dan melacak kemajuan mereka.

2.4   Mengupdate PPI  sepanjang tahun sekolah untuk mencerminkan kemajuan dan tujuan siswa

2.5   Membantu guru kelas/mapel dalam penyusunan program pembelajaran dan penilaian yang akomodatif terdiri dari:

•       Menyusun perencanaan pembelajaran

•       Melaksanakan pembelajaran

•       Memanfaatkan media, teknologi adaptif, dan teknologi asistif

•       Melakukan penilaian dan evaluasi hasil pembelajaran

•       Analisis hasil pembelajaran

•       Laporan hasil pembelajaran

2.6   Pengembangan kebutuhan khusus terdiri dari mulai perencanaa, pelaksanaan, penilaian dan laporan program kebutuhan khusus.

2.7 Mendiskusikan kemajuan siswa dengan orang tua, guru, konselor, dan administrator

2.8 Mengawasi dan  memberi mentoring/ nasehat kepada  asisten guru yang bekerja dengan siswa berkebutuhan khusus

2.9 Mengajar dan mentoring terhadap  siswa di kelas, dalam kelompok-kelompok kecil, bahkan secara individual.

3. Merencanakan dan melaksanakan jejaring kerjasama dengan berbagai pihak. 3.1   Melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pemangku kepentingan, antara lain: Dinas pendidikan provinsi/kota/kabupaten, Satuan Pendidikan khusus, Pihak orang tua dan atau Persatuan Orang Tua, Dewan Pendidikan/Komite Sekolah, Psikiater atau psikolog, Organisasi profesi3.2   Mempersiapkan dan membantu  PDBK dalam program transisi ke sekolah lanjutan atau ke masyarakat

Mencermati tabel fungsi dan tugas GPK di atas menunjukkan bahwa GPK tidak terbatas pada fungsi pembimbingan dalam pembelajaran saja yakni melakukan pembimbingan, konsultasi, dan kolaborasi bersama guru mapel, guru kelas, guru BK, guru TIK, dan/atau orang tua. Namun demikian, GPK juga berfungsi menjadi sumber informasi bagi semua pihak yang terlibat dalam layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus dan merencanakan dan melaksanakan jejaring kerjasama dengan berbagai pihak. Ini semua menunjukkan betapa kompetensi GPK sangat memberi arti bagi kemajuan dan perkembangan pendidikan inklusif saat ini. Mungkinkah GPK sebagai tugas tambahan dapat melakukan fungsi dan tugasnya secara maksimal?

PERMASALAHAN GURU DI SEKOLAH INKLUSI

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Keberadaan guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru BK merupakn bagian dari sekolah inklusi yang memiliki peran sebagai pendukung/supporting system dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif terlepas memiliki tugas tambahan sebagai GPK. Kelas yang beragam, terdapat PDBK atau tidak guru tetap harus melayani/mengajar secara professional dan dengan hati.

Menempatkan secara proporsional peran guru sebagai guru kelas, mata pelajaran, guru BK merupakan keutamaan, termasuk bagaimana mengajar dalam kelas yang beragam yang di dalamnya terdapat PDBK adalah bagian kerja profesionalitasnya. (part of professional job). Guru harus terus ditingkatkan dan dikembangkan kemampuannya untuk mengatur dan mengelola kelas yang di dalamnya terdapat peserta didik yang beragam dan beranekaragam, juag di dalmnya terdapat peserta didik beragam. (class room management in inclusive setting). Itulah tugas guru sejati. Namun demikian, guru belum sepenuhnya memberikan dukungan sepenuhnya bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif. Beberapa hal yang harus disuport terkait dengan tugas guru kelas. guru mata pelajaran, dan guru BK dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif secara garis besar yakni:

  1. Meningkatkan pemahaman guru tentang pendidikan inklusif. Mindset guru tentang pendidikan inklusif dan perspektif tentang anak perlu dilakukan rekonsepsi dan revitalisasi guna menujang terselenggarakannya pendidikan inklusif yang pas.
  2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru di sekolah inklusi dalam menerapkan pembelajaran yang mengakomodasi keberagaman dan keanekaragaman peserta didik di kelas. (Class Room Management in Inclusive Setting/CRMIS). Termasuk CRMIS di dalamnya adalah pengetahuan dan keterampilan membuat dan melaksanakan identifikasi, asesmen, program pendidikan individual (PPI), dan pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) akomodatif serta evaluasi dan penilaian.

Dengan beberapa hal di atas, setidaknya kita berharap ketika terdapat PDBK guru bersedia dengan inkhlas menerima kehadiran PDBK karena guru memiliki perspektif pendidikan anak yang pas. Guru memiliki keyakinan pedagogik yang kuat dimana “all student can learn and all student can teach”. Guru memiliki semangat berbagi, membatu dan memberikan layanan yang terbaik bagi semua peserta didik di kelasnya.

KESIMPULAN

GPK sudah dikonsepsikan sebagai tugas utama sejak tahun 1977-1980 melalui projek Program Sekolah Terpadu yang di inisiasi oleh Pemerintah RI melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Helen Keller International Incorporated. GPK pada waktu itu berperan membantu terselenggaranya sekolah terpadu di Bandung dan Yogyakarta.

Selanjutnya, pada tahun 2000-an hingga kini GPK terus eksis dengan segala dinamikanya.  Pada akhirnya GPK dikonsepsikan sebagai tugas tambahan melalui. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru Pasal 15 ayat 2e dinyatakan bahwa guru yang mendapat tugas tambahan sebagai pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi atau pendidikan terpadu. Pasal 15 ayat 6b menjelaskan bahwa tugas tambahan tersebut memiliki ekuivalensi beban kerja tugas tambahan yakni 6 (enam) jam tatap muka

Dengan fungsi dan tugas GPK yang menuntut kerja profesional, peran GPK sebagai tugas tambahan memiliki tantangan yang besar. Alangkah eloknya GPK diperankan secara penuh atau yang penulis sebut sebagai tugas utama. Maka, konsepsi GPK sebagai tugas utama dapat didefiniskan sebagai guru pendidikan khusus yang ditempatkan dan ditugaskan di sekolah umum (baca: sekolah inklusi) guna memberikan dukungan secara kolaboratif dengan unsur pelaksana sekolah sehingga tercapainya tujuan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh peserta didik. (all student).

Legalitas GPK dengan tugas tambahan hanya diperuntukkan guru kelas dan mata pelajaran. Guru dengan latar belakang pendidikan khusus tidak memungkinkan menjadi GPK di sekolah inklusi karena di dalam sistem data pokok pendidikan/Dapodik GPK dengan latar pendidikan khusus tidak ada. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI harus membuat kebijakan/regulasi yang membuka peluang para lulusan Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa menjadi Guru Pembimbing Khusus sebagai tugas utama yang penempatan kerjanya di sekolah inklusi. Ini sangat penting bagi kemajuan pendidikan inklusif di Indonesia.

Peningkatan Kompenetsi guru kelas, guru mata pelajaran dan guru BK terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif harus terus dilakukan. Kenyataanya, guru selalu menghadapi peserta didik yang beragam dan beranekaragam. Oleh karena itu, apapun alasannya, guru yang professional harus memiliki kemampuan dalam pengelolaan pemebalajaran yang cakap. Peningkatan pemahaman dan keterampilan guru tentang Class Room Management in Inclusive Setting/CRMIS menjadi prioritas.

PENUTUP

Pendidikan inklusif berbicara tentang menghargai keberagaman dan keanekaragaman. Dalam setting pembelajaran di kelas, guru sebenarnya menghadapi peserta didik yang beragam. (all students is defferent). Keberagaman dan keanekaragaman peserta didik dalam sebuah kelas harus direspon oleh guru secara baik melalui desain pembelajaran yang membuat semua peserta didik dapat berpartisipasi di dalam pembelajaran dan mencapai prestasi yang sesuai dengan kemampuanya.

Guru harus professional dalam melakukan tugasnya termasuk professional dalam memberikan layanan pendidikan pada kelas dengan peserta didik yang beragam termasuk di dalamnya adanya PDBK. Tentu tidak mudah bagi guru menghadapinya, tetapi bukan berarti tidak bisa. Oleh karena itu diperlukan dukungan bagi guru dalam melaksanakan tugasnya dengan hadirnya GPK sebagai supporting system di sekolah umum (baca: sekolah inklusi). GPK selayaknya diperankan oleh guru dengan latar belakang pendidikan khusus/pendidikan luar biasa guna menunjang professionalitas tugasnya, bukan sebagai tugas tambahan tetapi sebagai tugas utama. Sekolah harus memastikan bahwa guru menjadi guru yang melayani secara professional bagi semua peserta didik tanpa kecuali. Oleh karenanya, dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk menciptakan guru dan GPK yang professional guna mewujudkan implementasi pendidikan inklusif yang menjangkau semua anak-anak untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Selanjutnya, memastikan jaminan professional GPK dalam system pendidikan kita sehingga masa depan karir GPK dapat diharapkan di masa yang akan datang.

Salam Inklusi!

Daftar Pustaka

Depdiknas. 2007. Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif tentang Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Pendidik. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Permendiknas No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa

Kaufman, M. J., Gottlieb, J., Agard, J. A., & Kukic, M. B. (1975). Mainstreaming: Toward an explication of the construc. In E. L. Meyen, G. A. Vergason, & R. J. Whelen (Eds.), Alternatives for Teaching Exceptional Children Denver: Love publishing Co.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor  17  Tahun  2010  Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, Dan  Pengawas Sekolah

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang  Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa

Rudiyati, Sari. 1981. Studi Kasus tentang Pelaksanaan Tugas Guru Pembimbing Khusus pada Pendidikan Terpadu Tunanetra.  Yogyakarta: IKIP Yogyakarta

Yusuf, Munawir., dkk. 2018. Pendidikan Inklusif dan Perlindungan Anak. Solo: Tiga Serangkai