Autistic Spectrum Disorder adalah anak yang memiliki gangguan perkembangan yang terbagi pada dua area utama yakni 1) Social Communication & Interaction Deficit (Keterlambatan Komunikasi dan Komunikasi Sosial) dan 2) Restricted or Repetitive Behavior/Interest/Activities (Perilaku/Minat/Aktifitas yang Dibatasi atau Berulang-Ulang). Manifestasi dari gangguan perkembangan anak autis pada beberapa area tersebut seperti tidak dapat berbicara, kesulitan memahami komunikasi baik verbal maupun isyarat (symbolic communication system), kesulitan berhubungan dengan orang lain, tidak bisa bermain secara interaktif, menyendiri, kurang tertarik berhubungan dengan orang lain, melakukan gerakan atau aktifitas yang berulang-ulang dan memiliki kelekatan dengan benda tertentu tetapi tidak fungsional.
Gangguan perkembangan anak autis di atas muncul sejak usia dini (sebelum usia 3 tahun). Pengetahuan tentang symptom (gejala) autism pada usia dini sangat dibutuhkan bagi orang tua. Dengan mengenali gejala autis sejak dini maka orang tua dapat membantu menstimulasi perkembangan anak dan memberikan layanan yang terbaik.
Terdapat banyak pendekatan/metode penanganan anak autis. Tulisan ini memaparkan secara ringkas beberapa pendekatan/metode dalam penanganan anak autis. Adapun berbagai metode yang secara spesifik yang digunakan dalam penanganan anak autis adalah sebagai berikut:
1. Metode Lovaas/ABA
Metode ABA adalah metode yang paling banyak digunakan ditempat-tempat terapi atau pusat layanan anak autis di Indonesia. Metode ABA mulai dikenal dan diterapkan di Indonesia sekitar tahun 1997 yakni dengan datangnya Jura Tender seorang yang berpengalaman menangai anak autis dari Australia. Sejak Jura Tender datang ke Indonesia mengenalkan ABA, maka sejak itulah layanan one on one system bagi anak autis melalui pendekatan behavioristik yakni metode ABA berkembang dan menjamur. (Yuwono, 2012)
Metode applied behavioural analisys (ABA) dikenal juga dengan Metode Lovaas karena nama penemunya adalah O. Ivar Lovaas. Dasar dari metode ini adalah menggunakan pendekatan teori behavioral (stimulus respon, teori ABC). Metode ini mengajarkan anak autis tentang kepatuhan, ketrampilan dasar anak dalam meniru dan membangun kontak mata. Latihan-latihan awal terus dilakukan hingga sukses. Dalam proses belajar, jika anak autis dapat merespon dengan baik dan benar sesuai target perilaku, maka anak akan selalu diberikan reward yang sesuai misalnya memberikan makanan favoritnya, senyuman, punjian, mainan atau pelukan dan lain sebagainya. Jika anak autis gagal merespon stimulus yang diciptakan, maka pernyataan verbal yang dibuat dengan mengatakan “Tidak !”. Katakan dengan tegas dengan menunjukkan ekspresi muka yang bermakna: tidak setuju, bukan itu yang dimaksud atau tidak boleh dan mungkin salah.
Metode ini sangat terstruktur dimana program yang diberikan berdasarkan tahap perkembangan anak. Materi yang diberikan bertahap dan bersifat prerequesite, artinya materi yang diberikan tidak akan berlanjut bila dasar dari materi sebelumnya belum dikuasai. (sistematis dan terstruktur). Metode ini dilakukan oleh tim yang sudah dilatih terlebih dahulu yang dilakukan secara reguler dengan anak. Hal ini dilakukan agar orang tua anak dapat mengamati latihan dan menjadi lebih terlibat dalam program intervensi dini anaknya.
Dalam beberapa laporan penelitian, Metode Lovaas cukup efektif dalam membantu perkembangan anak autis. Lovaas (1987) melaporkan hasil risetnya bahwa intervensi dini yang dilakukan pada usia 2 tahun dengan menggunakan pendekatan behavioral therapy yang dilakukan secara intensif 40 jam per minggu anak mengalami kemajuan yang luar biasa. Dari 19 anak autis, 9 diantaranya mengalami kemajuan dalam fungsi kognitif dan intelektual yang normal dimana anak dapat diikutkan dalam sekolah tingkat pertama dengan teman sebayanya. (Mourice, 1996; Siegel, 1996; Simson, 2005; Volkmar, et al., 2005).
Laporan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Princeton Child Development Institute pada tahun 1985 yang dikutip oleh Mourice (1996) menegaskan bahwa dengan melakukan intervensi dini, sebelum usia 5 tahun, 40%-60% anak-anak autis dapat diikutkan dalam sekolah reguler. (Fenshe, Zalmski, Krantz & McClannahan, 1985). Pendapat senada juga di tuliskan oleh Simson (2005) tentang efektivitas terapi dengan pendekatan behavioristik, meski prosentasinya sedikit berbeda yakni 47%. Ia juga menambahkan bahwa sejak saat itu terjadi peningkatan permintaan orang tua terhadap sekolah untuk menyediakan program intervensi dini perilaku anak autis secara intensif seperti yang dideskripsikan oleh studi Lovaas.
Metode Lovaas merupakan metode yang paling sering dipilih dan digunakan dalam menangani anak autis baik oleh orang tua maupun di pusat-pusat terapi di Indonesia. Laporan penelitian tentang penggunaan metode ini masih jarang dijumpai di Indonesia. Tetapi beberapa pernyataan dalam seminar, diskusi orang tua anak autis dan beberapa pengakuan terapis menunjukkan hal yang positif. Beberapa kasus membuktikan bahwa metode ini cukup efektif dalam membantu penangaan anak autis terutama dalam meningkatkan kepatuhan, kontak mata dan kemampuan kognitif serta perkembangan komunikasi dan bahasanya. Namun demikian, hasil-hasil penelitian tentang penggunaan metode Lovaas secara komprehensip sangat dibutuhkan misalnya penggunaan teknik dan prosedur yang sesuai dengan temuan Lovaas. Kebanyakan hasil penelitian hanya mengujicobakan sebagian dari konsep Lovaas.
2. TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Communication Handicapped Children)
TEACCH dikembangkan dan ditujukan untuk anak-anak autis dengan terstruktur dan bersifat rutin dalam kehidupannya. Program ini menekankan anak-anak agar dapat bekerja secara bertujuan dalam komunitasnya. Dalam tulisan Wall (2004) Eric Schopler telah mengembangkan prinsip-psinsip kunci dalam program TEACCH antara lain a) Structured enviorenment, b) Work schedules, c) Work systems dan d) Visual instructions.
Program TEACCH dalam kelas, setiap area akan dibedakan dari satu area ke area lainnya dengan screens atau papan, dimana setiap area dibedakan secara signifikan pada kegiatan anak dalam setiap area yang mengarah pada kejelasan pemahaman. Setiap individu memiliki ”work schedule” untuk beraktifitas yang mana pada bagian awal menggunakan bentuk gambar. (pictorial form). Dengan urutan dari atas ke bawah, setiap schedule ada nama anak dan simbol agar memudahkan untuk dikenali anak dan juga anak mengetahui schedule mereka. Saat kedatangan anak di sekolah atau di pusat terapi, anak mengambil gambar pertama dan menuju ke meja (area kerja) dimana mereka mengetahui untuk mengambil aktifitas tempat kerja, menempatkan kartu jadual ke kotak dan guru mengecek untuk melihat pada setiap area kerja anak. Di atas meja ada kotak dengan nama anak yang ditaruh sebelah kiri meja, dimana anak dapat mengambil kartu dan membuka. Apapun tugasnya adalah melengkapi dalam area kerja dan ketika tugas itu komplet, kotak ditempatkan sebelah kanan meja anak sebagai indikasi sudah selesai. Selanjutnya anak kembali ke schedule untuk mengambil gambar selanjutnya dan segera mendapatkan ruang selanjutnya. Selama sesi terdapat perubahan kecil pada rutinitas ini dan juga perasaan anak yang lebih nyaman dalam lingkungan sehingga senang melakukan tugas dengan tingkat kebebasan yang cukup.
Ketika anak menjadi lebih dapat terjadual dan terstruktur berkomunikasi menggunakan media gambar dan terdapat kata di bagian bawah gambar tersebut hingga suatu waktu sangat mudah menggunakan hanya tulisan kata. Orang tua dapat mengadaptasi setting kelas ke dalam setting rumah misalnya pergi tidur, gosok gigi, cuci kaki hingga berdoa. Demikian pula misalnya pergi jalan-jalan ke pantai, mall atau ke restoran untuk makan dan minum bersama keluarga.
Pendekatan ini didesain untuk membimbing dan memberikan dukungan kepada orang tua dan masyarakat sedapat mungkin dilakukan sesuai dengan kondisi lingkungan dekatnya. Pendekatan ini secara luas sudah digunakan di Amerika serikat dan di negara-negara Eropa.
Problem yang nyata dalam penggunaan metode ini adalah ketika keluarga dengan anak autis pindah dari suatu negara ke negara lain dimana negara asal lingkungannya menggunakan pendekatan TEACCH sementara di negara yang baru mereka tinggal tidak menggunakan pendekatan TEACCH. Problem yang nyata lainnya adalah ketika anak berpindah dari satu sekolah yang menggunakan metode ini ke sekolah yang tidak menerapkan metode ini.
Sebagai bimbingan secara umum dapat mengikuti poin-poin yang membantu untuk memutuskan metode berkomunikasi dan berbahasa yang akan digunakan, Jordan (2001) menuliskan sebagai berikut: Pertama, Intelligibility, mudah dimengerti oleh pengguna. Kedua, Portability, mudah dibawa dan mudah digunakan. Metode ini dapat digunakan secara bervariasi dalam konteks termasuk di luar rumah tanpa membutuhkan uraian sebagai perlengkapannya. Hal ini dengan jelas memiliki hubungan terhadap sistem yang tergantung pada perlengkapan teknologi, tetapi juga implikasi kepada sistem simbol dan gambar. Ketiga, Copability, kecocokan atau kesesuaian. Kecocokan/kesesuaian terhahap level bahasa pengguna, kognitif, sensorik dan keberfungsian fisikal. Hal ini sangat sulit untuk anak autis dalam memahami tujuan berkomunikasi dan juga penting untuk mempunyai sistem yang seseorang dengan siap memahami. Keempat, Usability, dapat digunakan saat ini dan diprediksi pada lingkungan yang akan datang. Hal ini dapat membantu individu berkomunikasi dengan orang lain sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Kelima, Normalisation, adalah satu sistem yang mendorong dalam sosial yang inklusif. Sebagai sistem ini akan mempertimbangkan apakah sistem ini dapat digunakan sebagai augmentative of speech dalam mengharapkan perkembangan bahasa akan difasilitasi oleh alat komunikasi yang digunakan atau apakah sistem itu semata-mata sebagai alternatif untuk bicara.
3. Sone-Rise Programme (options approach)
Pendekatan ini dikembangkan oleh Barry Neil dan Samahria Lyte Kaufman, sepasang suami istri dari Amerika Serikat sebagai hasil dari kerja mereka dengan anaknya dari usia 18 bulan. Melalui keyakinan bahwa penerimaan dan cinta pada anak yang mereka sediakan, Kaufmans mengembangkan sebagian ruang bermain dari kerja mereka.
Setelah berhasil dan sukses, mereka merekrut volunteer untuk membantu program tersebut. Mereka meyakini bahwa anak harus bersama mentor sepanjang hari, sepanjang anak bangun. Prinsipnya adalah membantu anak untuk belajar tentang apa yang ingin anak pelajari sebagaimana apa yang dirasa dibutuhkan adalah bersifat mendasar. Mentor akan mengikuti anak dan berpartisipasi terhadap apapun yang dilakukan oleh anak. Pengamatan merupakan hal yang harus dilakukan oleh keduanya, anak dan mentor sebagaimana dua cermin dan mentor menemukan secara umum untuk membuat perencanaan aktifitas ke depan. Orang tua, bagaimanapun harus mengembangkan penataan setting ruang bermain mereka untuk beraktifitas dimana bebas dari gangguan dan anak dapat memusatkan perhatian secara total.
Menurut sebuah laporan survey yang dilakukan oleh The Autism Treatment Center of America dari tahun 1998-2003 menyatakan bahwa terdapat 580 orang tua yang menerapkan program Son-Rise terhadap anaknya. Hasilnya adalah 92% responden melaporkan ada peningkatan dalam penggunaan bahasa pada anak-anak mereka, 90% melaporkan ada peningkatan perhatian anak-anak mereka dan 92% ada peningkatan kontak mata pada anak mereka.
Metode ini tidak terlalu populer di Indonesia, tetapi ada sebagian orang tua yang menggunakannya karena memang metode ini lebih bersifat home based, artinya hubungan orang tua (keluarga) dengan anak merupakan kunci suksesnya keberhasilan anak. Peneliti bersama salah satu orang tua di Jakarta pernah mencoba mempraktekkan penggunaan metode ini. Kami, tim terdiri dari 4-5 terapis bertemu dengan Ibu Syahira (nama samara). Konsep penangananya disampaikan kepada tim yakni penanganan dilakukan di rumah, 8 jam per hari (senin hingga jumat), 2 jam bergantian terapis, ukuran ruang yang cukup (sekitar 7×3-4 m), ada mainan tapi tidak dapat langsung diakses oleh anak, evaluasi rutin dan sebagainya. Prinsip utamanya adalah mengikuti “apapun” yang ingin dilakukan oleh anak (joining), tidak ada yang salah dari perilaku anak dan menerima apa adanya dengan penuh semangat dan cinta. Poinnya adalah bagaimana mengembangkan interaksi dan komunikasi anatara terapis dan anak. Sebagai ilustrasi cara penanganannya, kami menonton video bagaimana Kaufman dan istrinya serta anaknya menangani anak autis di sebuah ruangan.
Alhasil, penanganan secara intensif selama 3-4 bulan, anak menunjukkan perkembangan yang signifikan terutama pada minat untuk berinteraksi, minat “belajar”, perhatian anak terhadap aktifitas dan kemampuan bicaranya. Hal ini juga diikuti dengan kemampuan anak dalam mengenal regulasi, bagaimana cara bermain yang benar, mengenal berbagai benda sekitar dan adanya peningkatan dalam pemahaman komunikasi dan bahasa.
Adapun beberapa prinsip-prinsip program Sone-Rise sebagai berikut :
- Joining dan kebiasaan perilaku yang akan digunakan sebagai kunci untuk membuka misteri perilaku anak dan memfasilitasi kontak mata, perkembangan sosial dan lainnya.
- Memotivasi anak dalam kelanjutan belajar dan membangun pondasi untuk pendidikan dan menambah keahlian.
- Belajar melalui permainan yang interaktif dan sosialisasi serta komunikasi yang penuh arti.
- Menggunakan prinsip 3E ; Energi, Excitement dan Enthusiasme dalam mengajar anak dan memunculkan kecintaan secara kontinyu dalam belajar dan interaksi.
- Tidak menghakimi dan sikap optimis.
- Penempatan orang tua anak sangat penting sebagai sumber yang paling konsisten dan lengkap dalam latihan, edukasi dan inspirasi.
- Tidak terganggu – fasilitas lingkungan yang optimal dalam belajar.
4. PECs (Picture Exchange Communicatoin System)
Sistem ini memiliki pengalaman yang sangat sukses terhadap perkembangan anak berkebutuhan khusus dan secara nyata adalah anak autis. Sistem ini berdasarkan prinsip yang melibatkan anak dalam komunikasi dengan menyediakan mereka kesempatan untuk meminta sesuatu. Sebagai contoh jika waktu makan snack, maka orang tua menyediakan susu atau air putih untuk minum dan anak diarahkan untuk memilih dan meminta untuk minum. Dua gambar, segelas air susu dan segelas air putih disediakan untuk anak autis. Anak autis akan belajar untuk memilih kartu yang mengindikasikan mengarah minum dan memberikannya dengan cara meminta.
Pertama dibutuhkan orang dewasa untuk mengajarkan konsep dasar gambar sebagai alat komunikasi anak. Kartu ditempatkan di hadapan anak, di mana orang dewasa pertama menyediakan dua minuman untuk anak. Orang dewasa kedua menunjukkan kartu gambar minuman favorit anak dan menempatkan kartu tersebut ke telapak tangan anak dan kemudian membatu anak untuk menyerahkan kartu tersebut ke orang dewasa lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan anak untuk belajar mengambil keputusan dan meminta.
Sejak terjadinya evolusi penggunaan PECs, hal ini telah lebih luas digunakan di sekolah taman kanak-kanak dan sekolah-sekolah. Sebagaimana ketidakmampuan anak berinteraksi dan bicara non verbal antara anak dan orang dewasa, keuntungan juga meluas pada setting di rumah, di mana dalam hal ini dapat didekati oleh anak autis untuk meminta sesuatu. Ketika anak semakin berkompeten dengan beberapa gambar dasar, lebih lanjut kata dapat dikenalkan, membangun pada prase dan struktur kalimat, jika memungkinkan.
Metode ini sebenarnya sangat dibutuhkan oleh anak-anak autis sesuai dengan karakteristik uniknya dimana anak autis lebih dominan menggunakan visual sebagai media untuk berpikir, gaya belajar visual learner. (Sussman, 1999). Tetapi sayangnya sebagian besar orang tua anak autis dan sebagian besar pusat-pusat terapi, sekolah bagi anak autis di Indonesia tidak banyak ”meminati” metode ini. Para orang tua cenderung beralasan bahwa anaknya nanti akan malas berbicara dan akan selalu menggunakan media gambar untuk berkomunikasi. Anak-anak akan hanya mengerti dan dengan cara menukar gambar saat menginginkan sesuatu, tidak berbicara.
Berdasarkan pengalaman peneliti, pada satu kasus anak autis bernama Naufal (nama samaran) cukup berhasil pada kemampuan komunikasinya dengan menggunakan prosedur metode di atas. Pada suatu pagi, Naufal sedang berjalan-jalan dengan penulis dan tiba-tiba Naufal merengek-rengek, bingung lalu lari kembali ke pusat terapi. Hingga sampai di ruangan, penulis mengambil gambar makanan, gambar Batman kesukaannya dan gambar toilet (BAB, buang air besar). Anak menunjuk gambar BAB dan langsung masuk ke toilet. Ketika pemahaman ini telah dikuasai, Naufal dapat menggunakan dalam berbagai situasi misalnya minum, makan, pulang, berenang bahkan ingin pergi ke Ancol atau ingin membeli VCD film kesukaannya.
Penggunaan media gambar dalam setiap kartu diberikan label/tulisan sesuai makna gambar yang kita inginkan. Bersamaan dengan ini, anak sebenarnya juga dikenalkan secara verbal dan terjadi proses pembelajaran membaca. Hingga pada suatu waktu, Naufal dapat menyampaikan pikiran dan perasaanya dengan cara menulis kalimat. Bahkan yang menarik adalah pada akhirnya anak dapat membaca dan menulis tanpa harus melalui proses pembelajaran membaca seperti pengenalan huruf, suku kata ataupun mengeja. Proses ini terjadi secara tak kentara. Hingga akhirnya, Naufal belajar berkomunikasi dengan verbalnya, meskipun hasilnya tidak maksimal karena Naufal memiliki masalah dalam fungsi organ bicaranya.
Berdasarkan paparan di atas menunjukkan bahwa metode ini cukup membantu anak autis untuk mengembangkan kemampuan berkomuniksinya. Dengan penerapan metode ini, setidaknya dapat mengantisipasi jika anak autis ini non verbal hingga dewasa. Jadi, meskipun tidak dapat memproduksi suara, anak autis tetap dapat berkomunikasi melalui caranya sendiri dalam kehidupannya. Posibilitinya adalah anak autis dapat berbicara/memproduksi suara tetapi tidak dapat menggunakan dalam kehidupan sehari-harinya atau anak autis tidak dapat berbicara/memproduksi suara tetapi dapat berkomunikasi melalui caranya sendiri atau kondisi anak autis yang dapat berbicara dan dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, metode ini biasanya dibarengi dengan pembelajaran pengucapan atas kartu gambar yang ditukarkan oleh anak sebagai cara ekspresinya.
5. Terapi Sensori Integrasi
Sensori integrasi adalah kemampuan otak dalam mengorganisasikan input-input sensori untuk digunakan sesuai kebutuhan. (Ayres, 2009) Anak yang mengalami gangguan perilaku, seperti autisme, akan mengalami kesulitan dalam menerima dan mengintegrasikan beragam input yang disampaikan otak melalui inderanya. Akibatnya, otak tidak dapat memproses input sensoris dengan baik. Dengan begitu, otak juga tidak dapat mengatur perilaku anak agar sesuai dengan lingkungannya
Ada banyak ditemukan bahwa anak-anak autis, selain memiliki masalah utama dalam perilaku, berinteraksi dengan orang laindan kemampuan komunikasinya, mereka bisa jadi juga memiliki masalah sensorik. Ketika anak autis memiliki problem sensorik maka proses belajar anak autis tidak mudah untuk melakukan aktifitas belajar dan bermain selayaknya nak-anak pada umumnya, sehinga anak kesulitan untuk mencapai prestasi yang sesuai dengan harapan. Oleh karena itu anak-anak autis membutuhakan terapi sensori integrasi.
Terapi Sensory Integration adalah terapi untuk memperbaiki cara otak menerima, mengatur, dan memproses semua input sensoris yang diterima oleh pancaindera, indera keseimbangan, dan indera otot. Dengan menggunakan terapi sensori integrasi ini diharapkan anak-anak autis menjadi lebih siaga perilakunya. Di Indonesia, praktik terapi sensori integrasi sangat banyak digunakan di pusat-pusat terapi bagi anak autis.
Terapi sensori integrasi membutuhkan peralatan-peralatan dan ruang yang cukup untuk memfasilitasi aktifitas dan gerak anak. Kebutuhan peralatan dan ruang untuk terapi sensori integrasi dibuat dengan mempertimbangkan karakteristik problem sensorik pada anak autis. Desain, bahan, tata letak, warna dan sebagainya dicipta dan disusun dengan mempertimbangkan karakteristik dan tujuan kegiatan belajar anak autis guna memfasilitiasi dan memenuhi kebutuhan sensoris anak autis.
6. Terapi Wicara
Salah satu domain gangguan yang nyata pada anak autis adalah gangguan dalam komunikasi dan bahasa. Anak autis memiliki kondisi perkembengan bahasa yang terhambat. Pada kondisi tertentu anak autis tidak dapat berbicara hingga dewasa atau jika dapat berbicara anak autis belum dapat menggunakan kemampuan bicaranya untuk kepentingan sehari-hari.
Salah satu terapi yang memfokuskan dalam memberikan layanan pada masalah anak autis ini adalah terapi wicara. Terapi wicara bertujuan untuk membantu meningkatkan dan mengembangkan kemampuan anak autis pada area komunikasi bahasa agar menjadi lebih baik. Melalui terapi wicara diharapkan anak autis memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memproduksi suara, berkomunikasi baik isyarat ataupun verbal, memiliki pemahaman bahasa yang baik, menggunakan kemampuan bicaranya untuk kepentingan dalam kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, terapi wicara ini sangat dibutuhkan bagi anak autis. Di pusat-pusat terapi anak autis kebanyakan terdapat layanan terapi wicara bagi anak autis. Layanan terapi ini rata-rata menggunakan pendekatan one on one. Bagi penanganan anak autis dalam setting sekolah khusus (pendekatan kelas) tidak banyak dijumpai layanan terapi anak autis melalui terapi wicara. Pendekatan pembelajaran terkait dengan pengembangan bahasa dan komunikasi diterapkan secara sosial didaktik.
Dr. J
DAFTAR PUSTAKA
Charman, Tony dan Stone, Wendy. (2006). Social & Communication Development in Autism Spektrum Disorders, Early Identification, Diagnosis & Intervention. A Devision of Guilford Publication Inc.
Jordan, R. (2001). Autism with Severe Learning Difficulties. England : A Condor Book Son Venir Press.
Jordan, R. & Powell, S (1995). Understanding and Teaching Children with Autism. England : John Wiley and Sons Ltd, Beffin Lane.
Maourice, C. (1996). Behavioral Intervention for Children with Autism A Manual for Parent’s Young and Professionals. Texas : Austin.
Lovaas, O.I. (1981). Teaching Developmentally Disablities Children. Allyn and Bacon ; The Me Book.
Sussman, F. (1999). More than Words, Helping Parent Promote Communication and Sosial Skills in Children with Autism Spectrum Disorder. The Hanen Centre, Toronto, Ontario, Canada.
Yuwono, Joko. (2012). Memahami Anak Autistik, Kajian Empirik dan Teoritik. Bandung: Alfabeta
Yuwono, Joko. (2006). Pembelajaran Komunikasi dan Bahasa Anak Autisme. UPI Bandung. (Hasil Penelitian, Tesis)